”Jadilah orang yang baik". (HR Al-Hakim). Disaat seseorang berdiri di depan cermin, maka yang akan terlihat adalah wajahnya. Pertanyaan standar yang muncul adalah apakah Anda cantik, gagah dan ganteng . Ini adalah pertanyaan tentang fisik. Tapi jarang yang bertanya pada dirinya saat di depan cermin, “Apakah saya orang baik?” Kalaupun ada yang bertanya, maka jawaban yang akan terucap adalah saya orang baik. Ini adalah kesimpulan personal kita, yang mungkin sudah tercampur dengan dorongan egoisme. Karena belum tentu orang lain mempunyai anggapan yang sama dengan kita.
Dikisahkan
bahwa ada seorang lelaki menghadap Rasulullah saw. seraya berkata,
”Tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, jika aku mengamalkannya, aku akan masuk
surga?. Beliau menjawab,”Jadilah orang yang
baik". Seorang lelaki bertanya,"Bagaimana aku bisa
mengetahui bahwa aku adalah orang yang baik?". Beliau
menjawab,"Bertanyalah kepada tetanggamu. Jika mereka berkata bahwa
kamu orang yang baik, berarti kamu memang orang yang baik. Jika mereka berkata
bahwa kamu adalah orang yang buruk, berarti kamu memang orang yang buruk."(HR.
Al Hakim)
Lihatlah,
lelaki tadi datang kepada Rasulullah saw bukan untuk bertanya tentang urusan
dunia. Beliau datang untuk bertanya kepada Rasulullah saw tentang jalan menuju
surga. Jalan menuju surga adalah menjadi
orang baik. Dan cara mengetahui apakah kita orang baik adalah dengan bertanya
kepada tetangga, teman, sahabat dan orang yang ada di sekitar kita. Jika kita
dianggap mereka orang baik, maka berarti kita orang baik. Jika kita dianggap
mereka sebagai orang buruk, maka kita orang buruk.
Jangan
berbangga dengan banyaknya amal ibadah yang kita lakukan dari sholat, puasa dan
sedekah, jika kita masih menyakiti orang lain dengan lisan dan tangan kita. Sebab,
ukuran menjadi orang baik bukan hanya ibadah semata. Tapi efek sosial dari
ibadah yang kita lakukan. Itu juga bukan berarti, amal sosial lebih diutamakan,
sekalipun tidak menunaikan ibadah yang diwajibkan. Ini persepsi yang salah dan
keliru. Keduanya, baik amal ibadah ataupun amal sosial wajib diperhatikan.
Hanya saja jika seorang ahli ibadah tidak bisa menjaga lisan dan tangannya dari
menyakiti orang lain, maka ending-nya akan sia-sia amalnya. Maka jadilah
seorang muslim yang baik, yang mampu mengendalikan gerak tangan dan lisannya untuk
keselamatan dan kemanfaatan orang lain. “Seorang muslim adalah ia yang
menjadikan orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (Bukhari
Muslim)
Jika orang lain
merasakan kebaikan dan kemanfaatan dari lisan, tangan dan seluruh anggota badan
kita, maka kita orang yang baik. Mengapa orang lain menjadi barometer dan
standar apakah kita orang baik atau tidak? Disana ada beberapa alasan. Pertama,
karena kebaikan itu sifatnya universal. Setiap orang yang berakal sehat dan
berhati sehat, maka ukuran kebaikan akan sama. Apalagi jika dia adalah seorang
muslim. Pasti alarm kebaikan, yang diajarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, yang
ada dalam jiwanya akan selalu hidup. Kedua, jika orang lain yang dimaksud
adalah tetangga, maka tetangga dalam Islam mempunyai kedudukan sebagai saksi yang
diterima persaksiannya di depan pengadilan. Tetangga akan bersaksi tentang baik
dan buruknya kita. Ketiga, bahwa seseorang dianggap baik, jika
kebaikannya lebih banyak dari keburukannya. Tidak ada manusia, kecuali
Rasulullah saw, yang 100% murni, utuh, tanpa kesalahan dan keburukan.
Dan mengapa
penilaian diri sendiri tidak begitu dianggap? Pertama, karena secara
tabiat dasar manusia akan menilai dirinya sebagai orang baik. Agar terjadi
keseimbangan, maka perlu penilaian dari orang lain. Kedua, karena seringkali
seseorang lebih memperhatikan kesalahan orang lain daripada kesalahan dirinya
sendiri. Ketiga, boleh menggunakan penilaian diri sendiri pada saat
seseorang akan melakukan sesuatu yang meragukan. Pada saat itu seseorang boleh
minta fatwa pada dirinya sendiri, pada hati nuraninya yang paling dalam.
Demikianlah,
bahwa kualitas kebaikan kita ternyata bukan kita yang menentukan. Tapi, final
decision (keputusan akhir) ada pada orang lain. Dan kualitas kebaikan
seorang muslim itu terlahir dari ibadahnya yang benar kepada Alloh swt. Sudah
semestinya seseorang yang beribadah kepada Alloh swt pasti akan merefleksikan segala makna dan
nilai-nilai mulia ibadah dalam kehidupannya sehari-hari. Ia akan mewarnani
selalu dalam setiap gerak lisan, tangan, kaki, mata, telinga dan pikirannya. Dan
jadilah ia sebagai pelopor kebaikan dalam hidup.
Budiman Mustofa, Lc. M.P.I
Budiman Mustofa, Lc. M.P.I

About the Author
0 komentar: