Budiman
Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua
Majelis Rindu Rasul – Solo)

Masyarakat muslim cukup unik bangunan strukturnya. Islam mendidik individu-individunya agar setiap orang dari mereka menjadi satu unit yang lengkap dan saling melengkapi. Dia seumpama batu-bata yang teguh, disusun bersama batu bata yang lain dalam bangunan yang besar dan megah. Proses ini ada sejak pembentukan masyarakat Islam pertama di bawah petunjuk Nabi SAW. Diantara motivasi pertama Islam ialah sabda Rasul SAW yang artinya, “Allah memberi hidayah melalui kamu seorang lelaki, itu lebih baik bagi kamu daripada unta Humr an-Ni’am (jenis unta yang paling tinggi nilainya)” [Muttafaq ‘alaih)
Semenjak itu, setiap individu dari generasi awal Islam melejit dan melaju kencang memikul misi mulia Islam dan aqidah yang murni ini. Begitu juga bara keimanan yang mendalam dan mantap di dalam jiwa-jiwa mereka tersulut untuk memberikan kontribusi terbaik bagi ummat, bangsa dan negara. Hal inilah yang mempengaruhi kata-kata, tingkah laku dan gerak mereka dalam hidup. Setiap individu di kalangan mereka seolah-olah membentuk sebuah umat. Sebagaimana ungkapan Nabi SAW atas sosok Abu ‘Ubaidah al-Jarrah diillustrasikan mewakili satu ummat, “Jika setiap ummat ada orang kepercayaan, maka orang yang paling dipercaya bagi ummat ini wahai ummatku adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhari)
Khalid al-Walid di medan perang mewakili sebuah umat. Beliau bertanggungjawab dalam menaklukkan pengaruh bangsa Romawi di tanah Arab. ‘Abdul Rahman bin ‘Auf dalam bidang ekonomi mewakili sebuah umat. Dialah yang berperan menemukan solusi yang tepat untuk problem monopoli Yahudi di Madinah yang sekian lama menggurita kegiatan monopoli ekonomi mereka di Madinah. ‘Umar al-Khattab dalam soal keadilan mewakili sebuah umat. Lorong-lorong Madinah dijelajahinya untuk menangani permasalahan rakyat. Gubernur dan penguasa dikumpulkan setiap tahunnya untuk ikut memikirkan dan mendiskusikan siasat mengatur negara. Jamaah haji yang berdatangan di tanah suci setiap tahunnya dimintakan beliau keterangan dan keluhan mereka tentang kepemimpinan para pemimpin mereka di masing-masing wilayah. Mus’ab bin ‘Umair berperan aktiv dalam usaha da’wah mewakili sebuah umat. Tiada satu rumah di Madinah melainkan dimasuki sinar da’wah Islamiah dan petunjuk al-Quran. Mu’az bin Jabal dalam soal halal haram mewakili sebuah umat. Zaid bin Thabit dalam soal hukum waris mewakili sebuah umat. Banyak dan banyak lagi contoh individu di kalangan mereka yang sedemikian hebat dan mampu mewakili sebuah ummat.
Benarlah ungkapan yang disampaikan Abu Bakar as-Siddiq,"La Yuhzamu Jayshun Fihi Al-Qa’Qa Ibn Amr - Sawtu Al-Qa’Qa Fil Ma’arakati Ya’dulu Alfa Rajulan". “Takkan terkalahkan tentara yang di dalamnya ada al-Qa’qa ibn Amr, suara Qa’qa’ di medan perang menyamai seribu pahlawan”. Bukankah beliau mampu menyusun kembali tentara muslimin yang kocar kacir, menaikkan semangat juang mereka, mengacau balaukan musuh, mencari titik kelemahan mereka dan lain-lain lagi.
Sewaktu pembukaan Mesir oleh tentara Islam di bawah komando ‘Amr bin al-’Ash, saat itu Umar al-Khattab telah mengirim 4 ribu tentara sebagai tambahan. Pasukan tambahan tentara ini ditmbah pula beberapa nama sahabat besar seperti Zubair bin al-’Awwam, Miqdad bin ‘Amr, Ubadah bin Shamit dan Muslimah bin Mukhlid, yang dikatakan setiap orang bernilai lebih dari seribu orang. Saydina Umar memberi amanat kepada Amr bin al-’Ash dan mengatakan, "Kamu harus tahu bahwa kamu mempunyai 12 ribu tentera, dan 12 ribu tentera tidak akan dikalahkan disebabkan jumlah mereka.” Dan tahukah Anda apa yang terjadi? Terbukalah kota Mesir yang agung di dalam sejarah Islam.
Setiap seorang dari mereka hanyalah seorang individu, tetapi dengan tekad kemauan serta amal kerja, dia seolah-olah tampil sebagai sebuah umat, mengubah wajah sejarah dengan terobosan-terobosan mereka. Sebagaimana yang dikatakan, “Amal nyata seorang lelaki di kalangan seribu lelaki lebih baik daripada kata-kata seribu lelaki kepada seorang lelaki.” Mereka memompa segala usaha, sepenuh daya, seolah-olah tidak ada seorang pun yang menemani proyek besar mereka. Seolah-olah dia ingin mendirikan bangunan Islam dengan tangannya dan menyempurnakannya dengan tulang sendinya tanpa keterlibatan orang lain. Kesungguhan dan keseriusan kerja inilah yang didapati oleh ‘Umar al-Khattab di kalangan tentaranya. Beliau berkata, “Sungguh mengagumkan, panglima perang yang jika kamu melihatnya, kamu menyangkanya seorang tentara bawahan yang patuh. Mengagumkan aku juga, tentara bawahan yang jika kamu menyaksikannya, kamu menyangkanya seorang panglima yang tangguh.” Lantaran ini, mereka telah merubah sejarah dunia, memimpin dan membinanya dengan baik.
Tiada seorang pun di kalangan mereka yang merendahkan peran dirinya atau apa yang dilakukannya. Mereka amat memahami sabda Rasulullah SAW yang artinya, “Sampaikan apa yang kalian dapat dariku walaupun sepotong ayat.” [HR. al-Bukhari].
Amal kerja dan sumbangan mereka tidak terhenti di satu tahap, bahkan ke penghujung nafas yang terakhir dari kehidupan mereka. Lihatlah Abu Ayyub al-Ansori yang mati syahid di pinggir pagar kota Konstantinople dalam usianya 80 tahun. Pada saat kematiannya, dia tidak menghentikan sumbangannya kepada Islam, bahkan menyampaikan kepada muslimin sebuah hadis yang pernah didengarnya daripada Nabi SAW yang artiya, “Sekiranya Kiamat akan datang sedangkan di tangan salah seorang daripada kamu sebiji pohon, maka tanamkanlah ia.”[HR. Ahmad].
Nilai dan sikap ini adalah satu fenomena biasa di dalam masyarakat muslim pada sepanjang zaman. Setiap individunya menjadi batu-bata kepada bangunan Islam yang agung. Mereka saling mengokohkan antara satu dan yang lain dalam semua profesi dan lapangan. Hasil usaha mereka yang gigih, siapapun yang melihat bangunan Islam akan berkata, “Alangkah indahnya bangunan ini! Alangkah hebatnya Islam! Dengan penuh tawadhu’ dan ikhlas, mereka tidak rela diri mereka hidup dengan kehidupan binatang yang biasanya dilalkukan oleh mereka orang-orang yang kufur kepada Allah. Firman Alloh SWT yang artinya, “Dan orang-orang yang kafir bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Maka, nerakalah tempat mereka.” [Muhammad: 12].
Mereka tidak akan duduk bersantai ria melihat sekelilingnya tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi mereka mengangkat slogan Nabi SAW bersabda yang artinya,“Orang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan yang saling kuat menguatkan satu sama lain”[Muttafaq ‘alaih]
Lantaran
itu kita dapat melihat Ibnu al-Haitham, Ibnu al-Nafis dan Ibnu Rusyd saling
lengkap melengkapi kepakaran mereka. Setiap seorang dari mereka saling
menguatkan yang lain untuk meninggikan bangunan Islam. Akan tetapi pada jaman
yang semakin kabur untuk mencari puncak tujuan hidup, bertambah semakin
bercampur aduknya visi hidup serta bersimpang siurnya misi masyarakat, pada
saat yang sama bangunan Islam semakin goyah dan rapuh, siapakah diantara pemuda kita
yang siap mewakili umat mengembalikan bangunan kejayaannya yang agung?
About the Author
0 komentar: