Budiman
Mustofa, Lc., M.P.I
Rubrik
Taklim Jawa Pos Radar Solo, Jumat 24 April 2015
“Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)
Jika
pembaca ingat ungkapan ini, pasti ingat RA Kartini. Memori kita akan diputar
kembali pada setting sejarah tahun 1879 M, saat RA Kartini lahir. Sebagian
orang menyebutnya sebagai pejuang emansipasi wanita. Namun, jika kita telusuri
dan renungi jejak sejarah, maka beliau sebenarnya lebih dikenang sebagai
pejuang pendidikan. Beliau sangat gigih dalam belajar. Sebab beliu yakin bahwa
dengan ilmu pengetahuan yang diserap lewat belajar maka manusia akan meraih
kemajuan dan mendapatkan martabat serta harga diri. Rasa ingin tahu beliau yang
begitu besar memicu beliau untuk selalu siap menimba ilmu, tanpa rasa malu. Termasuk
keinginan tahunya yang begitu deras tentang agama Islam.
Ia
seperti tersiksa dalam penjara ‘kebodohan’. Ia betul-betul tidak tahu apa yang
harus ia gambarkan tentang Islam. Sebab, di masanya terlalu sulit untuk sekedar
berdiskusi tentang Islam. Ada semecam tembok pemisah yang sangat tebal, antara
Islam dengan pemeluknya. Apa gerangan sebabnya? Apakah karena Islam begitu
lengkap aturan hidupnya, sehingga akan membawa perubahan yang begitu cepat bagi
negri yang sedang dalam kungkungan penjajah? Atau karena memang Islam sendiri
sulit untuk dimengerti?
Kegelisahan
inilah yang membuat Kartini muda selalu bertanya-tanya. Simaklah bagaimana curahan
kegelisahannya dalam cuplikan beberapa penggal isi suratnya. “Mengenai agamaku, Islam, aku harus
menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan
umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana
aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh
memahaminya? Al-Quran itu terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam
bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim.
Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa
Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir,
adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama
halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi
artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang
baik hati. Bukankah begitu Stella?, ” tulis Kartini dalam sebuah suratnya
kepada Stella Zeehandelaar, sahabat Kartini dari negeri Holland Belanda.
Diceritakan
bahwa suatu waktu ada acara pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Seorang
kiyai yang menyampaikan ceramah adalah Kiyai Sholeh Darat. Bagi Kartini Kiyai
ini paling unik dibandingkan yang lainnya. Ceramahnya sangat menarik
menurutnya. Sebab, ceramahnya menyibak semua kegelapan yang selama ini menutupi
akal pikiran, hati dan jiwanya. Sang Kiyai menerjemahkan semua makna yang ada
dalam surat Al-Fatihah berikut kandungannya. Kartini sangat senang dan sangat
terkesima dengan penjelasan Sang Kiyai. Sebab, selama ini hampir semua ulama
melarang penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Konon, pertemuan ini lah
yang akhirnya mendorong Kiyai Sholeh Darat menerjemahkan 13 Juz Al-Quran dan
diberikan sebagai kado pernikahan RA Kartini.
Kado itulah yang merubah RA Kartini menjadi
manusia baru. Dari detik ke detik ia selalu mengkaji kado yang sangat istimewa
itu. Kado ini lah yang menjadi manusia baru yang tercerahkan dengan hidayah Allah
dari tujuh petala langit yang turun lewan nabi Muhammad saw., kemudian sampai
ke tangan para ulama. Tanpa jiwa keikhlasan para ulama, maka kegelapan hati,
pikiran dan jiwa tidak akan tersibak. Manusia akan tetap dalam kebodohan.
Manusia akan tetap terkungkung dalam tirani kezaliman. Manusia akan tetap hidup
di bawah baying-bayang penjajah. Manusia akan tetap dalam kemunduran. Tidak akan
ada kemajuan yang berarti, yang mampu mengangkat harkat dan martabat diri, umat
dan bangsa. Sungguh, hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat, yang
tidak akan bisa dinikmati kecuali oleh mereka yang merasakannya.
About the Author
0 komentar: