Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo – Pembimbing Umroh
Hannien Umroh Solo Paragon Mall)
Pada tulisan yang
lalu penulis sudah menggambarkan bagaimana sebuah kegembiraan bisa diungkapkan
dengan sebuah tangisan. Pembaca tentunya sudah terbiasa menyaksikan kalau orang
sedih itu menangis. Bahkan terlalu sering kita saksikan di sekeliling kita. Ya,
mereka sedih. Namun, kita pun tidak tahu sedalam apa kesedihan yang menyelimuti
perasaan mereka.
Tangis kesedihan,
ia lebih merupakan ekspresi sebuah kesedihan yang dialami seseorang atas musibah, atas kegagalan, kekecewaan dan
semua bentuk ketidaknyamanan yang sangat mengganggu dalam rentang kehidupan
seseorang. Seseorang biasanya akan menangis, ketika ia tidak lagi berdaya
mengatasinya. Air mata kesedihan tidak akan bisa terbendung lagi. Ia akan
tumpah bersamaan ketika rasa sedih itu menyapa.
Siapapun tidak
bisa menyalahkan ketika seseorang menangis kerena sedih. Sebab, tangisan ini
merupakan bahasa ekpresif kesedihan. Ia akan meledak ketika kesedihan itu
betul-betul membuncah dan tidak bisa dibendung lagi.
Siapa yang tidak
sedih jika anaknya yang tercinta, yang telah sekian tahun lamanya hidup
bersama, secara mengejutkan terkena musibah, dan akhirnya dipanggil oleh Allah
swt.? Siapa yang tidak sedih jika istri atau suami tercinta, yang begitu setia
menemani dan melayani kita, ia pergi untuk selamanya? Siapa yang tidak sedih
ketika cinta kesetiaan dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang menyakitkan? Siapa
yang tidak sedih ketika harta yang kita miliki, hasil keringat dan kerja keras
kita, yang kita kumpulkan sekian tahun lamanya dengan penuh kesungguhan dan
kejujuran, demi masa depan, hilang ludes tanpa tersisa sedikit pun? Siapa yang
tidak sedih ketika mendapati dirinya yang sudah sekian puluh tahun lamanya
bersabar menunggu datangnya seorang pendamping hidup, namun tidak juga kunjung
datang? Siapa yang tidak sedih menyaksikan semua anggota keluarganya menjadi
korban dalam sebuah kecelakaan maut, tidak ada satu pun yang hidup?
Maka, menangislah.
Tidak ada satu pun yang berhak melarang seseorang menangis. Hanya saja,
janganlah menangis secara berlebihan sehingga melawan qadha dan takdir Allah,
lupa bahwa yang menentukan segalanya adalah Allah swt.
Diceritakan dalam
sebuah hadis yang artinya bahwa Rasulullah saw suatu ketika melewati sebuah
kuburan. Beliau melihat seorang wanita yang sedang menangis di samping kuburan
tersebut. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada wanita tersebut, “Wahai
Fulanah, sudahlah bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Maka wanita
tersebut menjawab dengan nada marah, “Sudah, pergi sana kamu. Kamu tidak
mengalami musibah seperti penulis. ” Wanita itu memang tidak tahu jika yang
menyapanya tadi adalah Rasulullah saw. Maka ada salah seorang sahabat yang
memberitahu si wanita tadi. Wanita tersebut betul-betul kaget, tidak sengaja
ternyata ketika larut dalam kesedihan ia telah memarahi Rasulullah dan
meremehkannya. Maka ia berusaha mencari Rasulullah. Dan didapatinya beliau di
rumah. Kemudian ia memohon maaf atas perilakunya, karena ia betul-betul tidak
tahu bahwa yang menasehatinya adalah Rasulullah. Maka Rasulullah berpesan, yang
artinya, “Sesungguhnya sabar itu pada hentakan pertama musibah.” (HR
Bukhari)
Untuk mengendalikan
kesedihan pada hentakan pertama ketika musibah datang sangatlah sulit. Perlu
latihan istrja’ (mengembalikan urusan pada Allah dengan penuh ikhlas,
selain mengucap Inna Lillah). Itu bukan berarti dilarang bersedih dan dilarang
menangis. Tapi, hendaklah kita ingat bahwa Allah Yang Maha Berkehendak atas
segalanya. Yang berpangkat jadi jelata. Yang jelata jadi bertahta. Yang kaya
jadi miskin. Yang miskin jadi kaya. Yang siang diganti malam. Yang malam
diganti siang. Hari ini akan ditukar dengan esok hari. Semua dipergulirkan oleh
Allah. Hanya sabar dan solat yang menjadi bekal utama.
About the Author
0 komentar: