Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)
Penulis masih
ingat, masa-masa sulit saat itu. Hidup di perantauan. Nun jauh di negri orang.
Di negri sebuah benua, di ujung dunia. Benua Afrika. Benua yang dianggap semua
orang sebagai benua gersang. Padang pasir luas terbentang. Jika tiba musim
panas, maka terik matahari begitu menyengat. Jika datang musim dingin, maka
udara dingin begitu kuat menembus kulit.
Delapan tahun
lebih berpisah dari keluarga. Untuk sebuah tugas mulia. Belajar agama. Delapan
tahun pula tidak pernah bersua dengan keluarga. Semua karena keterbatasan
biaya. Bahkan di awal-awal perantauan, hidup pun dengan seadanya. Hingga sampai
beberapa bulan lamanya tidak bisa hidup layak umumnya orang. Makan dan minum
seadanya. Dengan roti kering dan sekedar air putih yang dicampur garam sebagai
bumbunya. Orang tua pun tidak mampu untuk berbagi sebagian dari hartanya.
Sebab, mereka juga hidup dengan keterbatasan.
Delapan tahun
tidak bersua…?!
Ya…ia bukanlah
waktu yang sebentar. Jelas, kerinduan begitu kuat menyandera hati dan perasaan
ini. Namun, apa daya dan upaya. Di negri orang itu tidak ada kebolehan untuk
bekerja untuk sekedar mengumpulkan harta. Yang ada hanya belajar dan belajar.
Ditambah lagi, iri hati ini ketika menyaksikan begitu mudahnya sahabat-sahabat penulis
yang hidup penuh kecukupan, hilir mudik, bolak-balik kembali ke negri asalnya.
Tanpa ada kesulitan apapun yang mereka alami.
Maka, ketika
datang rasa rindu yang menghampiri, tidak ada kekuatan apapun yang bisa
dilakukan. Seakan kami berpisah dan terasing di negri orang untuk
selamanya. Entah sampai kapan. Hingga
selesai kuliah pun kami tidak ada gambaran bagaimana cara pulang ke negri
sendiri. Sampai kami pun berdoa;
“Ya Allah… jika Engkau tidak sempat mengumpulkan kami
Dengan keluarga kami yang kami cintai di duniaMaka, temukanlah kami dengan mereka nanti di akhirat, di surga-Mu.Dengarkanlah keluhan kami ya Allah. Dari hamba-Mu yang lemah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari-Mu.”
Itulah untaian doa
yang penulis lantunkan dengan penuh kepasrahan. Masa-masa penantian itu pun
tetap penulis tunggu. Hari demi hari dan bulan demi bulan. Bahkan tahun pun
telah berganti. Hingga akhirnya penulis mendapatkan anugerah yang penulis
anggap luar biasa. Ibarat oase di tengah padang pasir. Ketika penulis sedang
begitu haus dan dahaga, tibalah seseorang yang menawari minum. Hingga hilanglah
kedahagaan yang menyiksa itu.
Ada seorang shalih
yang ingin mendengarkan lantunan ayat Al-Quran dari lisan ini. Seingat penulis
saat itu beliau ingin mendengar dari penulis bacaan surat al-Jin, Nuh, al-Insan
dan ad-Dukhan. Maka, dengan senang hati penulis hafalkan surat-surat tersebut.
Subhaanallaah… ketika penulis berhasil menyelesaikan hafalan
surat-surat tersebut beliau menyodorkan puluhan lembar uang. Beliau berpesan
bahwa uang tersebut insya Allah cukup untuk membeli tiket pesawat dan oleh-oleh
pulang ke Indonesia. “Gunakanlah uang itu. Semoga Allah memberkahi-Mu,” pesan
beliau.
Betapa gembiranya
hati ini. Kerinduan yang menggebu itu telah terobati. Telah hadir rahmat Allah
dari jalan yang tidak disangka-sangka. Hingga tidak terasa air mata ini menetes
deras, bercucuran. Tubuh ini langsung tersungkur, sujud di hadapan-Nya. Penulis
peluk orang shalih tadi dengan erat. Penulis ucapkan terimakasih. Dan beliau
hanya menjawab, “Terimakasihlah kepada Allah.” Beliau adalah seorang syekh. Ya,
penulis masih ingat namanya adalah Syekh Jabir as-Syarif. Saat itulah ada satu
ayat penting yang penulis ingat, "Ini
termasuk kurnia Rabbku
untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan
barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya
lagi Maha Mulia." (an-Naml: 40)
Saudaraku, itulah
sekilas tangis kegembiraan. Yang diungkapkan karena merasa sangat senang dan
gembira mendapatkan sesuatu yang telah lama diharapkan hadir. Air mata
kegembiraan adalah air mata kesejukan. Ia menyirami kalbu dan jiwa yang telah
lama dalam kehausan dan dahaga menunggu rahmat dari Rabbnya.
Dalam perjalanan
hidup Anda, mungkin Anda pernah mengalami hal yang serupa. Sebuah kegembiraan
yang luar biasa yang membuat Anda menangis. Bahkan Anda pun tidak merasa malu
melakukannya bukan? ***
0 komentar: