• Biografi Penulis
  • Profil Majelis
  • Hubungi Kami
  • Latest Posts

    Senin, 13 Agustus 2018

    A. Makna Syarat-syarat Mufassir
    Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir. Sebelum melangkah lebih dalam tentang tafsir Alqur’an, ada beberapa hal yang harus di pahami terlebih dahulu, diantaranya harus paham dulu apa itu tafsir, Al-qur’an dll. Dengan ini dipaparkan sedikit untuk bisa kita melangkah lebih jauh tentang tafsir Al-qur’an.


    Awalnya, Al Quran turun secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun sebagai intruksi Allah atas Nabi serta ummatnya. Kadang, turunnya Al Quran sebagai reaksi atas sebuah fenomena atau permasalahan riil saat itu. Oleh karena itu, dalam Al Quran banyak di dapati hal-yang berhubungan dengan aktifitas dan keperluan manusia baik didunia apalagi di akhirat.
    Dan Al Quran merupakan sumber terpenting sebagai rujukan utama ilmu-ilmu bahasa, sastra,dan bahkan melahirkan ilmu sosial dan dasar-dasar administrasi tata Negara, oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan nilai khusus bagi kematangan kajiannya.


    Kajian ilmiah yang objektif adalah merupakan dasar ilmu pengetahuan yang benar yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui itu pulalah ia dapat bermanfaat. Maka dari pada itu seorang mufassir tidak jauh dengan hal tersebut bahkan lebih disebabkan ia adalah tuntunan syariat serta pedoman agama. (Manna’ Al Qaththan, Pustaka Al Kauts:414).
    Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur’an, syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apata lagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif. 

    Tafsir tidak hanya satu jalur setelah sekian panjang perjalanan ummat ini maka sampailah kita pada masa yang amat jauh dengan qurun Rasulullah dan para sahabatnya, demikian dapat dikategorikan pengambilan tafsir dengan beberapa hal;
    1. Sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah Saw, terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al Qur'an.
    Tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini di sebut Tafsir manquul. Seperti diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Ashshalaatul wusthaa dalam surat (2) Al Baqarah ayat 238 maksudnya ialah : sembahyang ashar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata: Aku menayakan kepada Rasullah Saw tentang Yaumul Hajjil Akbar dalam surat (9) At Taubah ayat 3, Rasulullah menjawab: Yaumun nahr.
    Tafsir yang berbeda dari sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya dengan hadits, maka sanad ini ada yang shaheh, yang hasan, yang dhaif, yang maudhu' dan sebagainya. Begitu pula sering didapat maknanya bertentangan dengan kabar yang mutawir, bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an, perlu ditiadakan penelitian lebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
    2. Ijtihad. Diantara para sahabat dan tabi'ien dalam menafsirkan Al Quraan, disamping menggunakan hadits-hadits Nabi, juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, tahu tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, tahu adat istiadat. Arab Jahiliyah dan tentang cerita-cerita Israiliyat dan sebagainya. Contohnya ialah: kata Aththuur dalam ayat 63 ayat 2 Al Baqarah di tafsirkan dengan tafsiran yang berbeda. Mujahid menafsirkannya dengan gunung sedang Ibnu Abbas menafsirkannya dengan gunung Thuur dan sebagainya. Di samping itu ada pula diantara sahabat dan tabi'ien yang tidak mau menafsirkan Al Qur'an menurut ijtihad mereka, beliau menjawab: Saya tidak akan mengatakan sesuatu tentang Al Qur'an.
    3. Cerita-cerita Israiliyaat: ialah perkhabaran yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari Israiliyaat ini, sebab Nabi Muhammad Saw sendiri pernah berkata: Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli Kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta. Maksudnya ialah supaya kaum Muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli Kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.

    B. Macam-macam syarat mufassir
    Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
    1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
    2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
    3)- Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
    4)- Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hukum Rasulullah berasal dari Allah,
    ” Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.(An-Nisaa:105)
    Demikian pula ditegaskan dalam Surah An Nahl : 44.
    “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
    Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya,” yakni Sunnah.
    Berkenaan dengan ini Imam Asy-syafi’ie berkata, “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.
    5)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
    5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
    6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan. Lebih daripada itu seorang mufassir lebih jeli dan teliti utamanya spesial dalam bahasa. Bahasa Arab kerana dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa kata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek.
    Oleh kerana demikian pentingnya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid mengatakan,
    لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
    “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
    2. Nahwu kerana suatu makna boleh saja akan berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbezaan i’rabnya.
    3. Tashrif (sharaf) kerana dengannya dapat diketahui bina’ (struktur) dan shighah suatu kata.
    4. Isytiqaq kerana suatu nama apabila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang berbeza, maka ertinya pun juga pasti berbeza. Misalnya (
    المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
    5. Al-Ma‘ani karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
    6. Al-Bayan karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi perbezaannya sesuai dengan jelas atau tidaknya suatu makna.
    7. Al-Badi‘ kerana dengannya dapat diketahui pengkhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
    Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sensitiviti terhadap keindahan bahasa (i‘jaz) Al-Quran.
    8. Ilmu qira’ah kerana dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’ lainnya.
    9. Usuluddin (prinsip-prinsip agama) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara teksl menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli usul berperanan untuk mentakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
    10. Usul fiqh kerana dengannya dapat diketahui wajh al-istidlal (penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbath.
    11. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) kerana dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
    12. An-Nasikh wa al-Mansukh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
    13. Fiqh.
    14. Hadis-hadis untuk mentafsirkan yang mujmal (umum) dan mubham (tidak diketahui).
    15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
    Dalam sebuah hadits disebutkan,
    من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
    “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahkannya ilmu yang belum ia ketahui.”
    Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbath darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
    Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki autoriti untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang mentafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, bererti ia mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang. Namun apabila mentafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang.
    8. Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an:
    a. Ilmu Qiraat kerana dengannya seseorang itu dapat mengetahui cara-cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan dapat pula memilih bacaan yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang ada, malah qiraat juga dapat memastikan maksud yang sebenarnya apabila terjadi perselisihan.
    b. Mendalami ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid karena dengannya seseorang
    mufassir diharapkan dapat mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketuhanan dan hak-hak Allah dengan betul serta tidak mentakwilkannya dengan sewenang-wenangnya atau melampaui batasan.

    C. Berpengetahuan dalam Usul Fiqh karena ia dapat membantu mufassir bagaimana hendak membuat kesimpualan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan berdalil dengannya. Begitu juga mengenai ayat-ayat mujmal dan mubayyan, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, amar dan nahy dan perkara-perkara yang berkaitan.

    d. Berpengetahuan yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir dapat membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan betul dan mendalam.
    Contohnya Asbab al-Nuzul akan menolong mufassir dalam memahami maksud ayat berdasarkan latar belakang penurunan ayat. Begitu pula dengan An-Nasikh dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.

    9. Memiliki ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman, sehingga dengannya mufassir boleh membezakan antara pendapat-pendapat yang saling berdekatan, kerananya mufassir tersebut dapat mengambil kesimpulan hukum yang sesuai dengan nas-nas syariat.
    Mentafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
    “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
    Orang yang memenuhi syarat-syarat mufassir dibolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaedah dan peraturan yang ditetepkan. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang kompeten dalam bidang ini.

    C. Defenisi Etika Mufassir
    Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu.

    Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
    Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama.

    Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-Shina'ah thawilah wa al-'umr, gashir, " demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an.163
    .

    Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan keanekaragaman disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat selektif dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung dalam satu kurikulum, suatu hal yang sering mengakibatkan pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan atau disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.

    Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk menekankan perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir di IAIN. Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan akhir yang ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi tujuan kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi terbatas hanya pada bidang kognitif tanpa mempermasalahkan segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta didik.

    Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan tinggi seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna suatu ayat, atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu, tetapi melampaui hal tersebut, yaitu dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak dapat mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri.

    Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir, maka materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu tafsir yang diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan pada kandungan arti suatu ayat atau masalah tertentu, satu hal yang selama ini telah mengakibatkan tumpang-tindihnya permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak didasarkan pada cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang dimaksud.

    Pokok Bahasan Tafsir
    Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau 'Ulum Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak termasuk di dalamnya materi tafsir dan pengenalan terhadap kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya, sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum memadai.

    Hemat penulis, secara garis besar, terdapat sekian banyak pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh mahasiswa IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok bahasan itu antara lain:
    1. Pengenalan terhadap Al-Quran
    Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a) persoalan wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran dan kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c) garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e) otentisitas Al-Quran (tinjauan historis); (f) batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Quran; dan (g) sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
    Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi utuh.

    2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu Tafsir
    Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan ta'wil; (b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul; (d) al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan al-mutasyabih; (f) sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran tafsir yang populer; dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
    Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan tafsir, kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
    Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan materi tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya secara mandiri untuk memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar pertimbangan tersebut, dapat kiranya dikemukakan di sini beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut dapat dibagi sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
    Materi-materi 'ulum Al-Qur'an dapat dibagi dalam empat komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2) kaidah-kaidah tafsir; (3) metode-metode tafsir; dan (4) kitab-kitab tafsir dan para mufasir.

    Pengenalan terhadap Al-Quran
    Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b) rasm Al-Quran, (c) i'jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e) qishash Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran, (h) amtsal Al-Quran, (i) naskh dan mansukh, (j) muhkam dan mutasyabih, dan (k) al-qira'ah.
    Kaidah-kaidah Tafsir
    Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran. Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1) kaidah ism dan fi'il, (2) kaidah ta'rif dan tankir, (3) kaidah istifham dan macam-macamnya, (4) ma'ani al-huruf seperti 'asa, la'alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah su'al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah sesudah larangan, (8) kaidah penyebutan nama dalam kisab, (9) kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan lain-lain.

    Metode-metode Tafsir
    Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya: al-ra'yu, al-ma'tsur, dan al-isyari, disertai penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawdhu'iy.
    Kitab-kitab Tafsir dan Para Mufasir
    Komponen ini mencakup pembahasan tentang kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa Arab, Inggris, atau Indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang, dan kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta keistimewaan dan kelemahannya.
    Pemilihan kitab atau pengarang disesuaikan dengan berbagai corak atau aliran tafsir yang selama ini dikenal, seperti corak fiqhiy, shufiy, 'ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima'iy, dan lain-lain.

    Materi Tafsir
    Sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi ayat-ayat di samping berdasarkan kandungannya, juga, dan yang terutama, peranannya dalam menunjang pemahaman materi-materi 'ulum Al-Quran, baik untuk pemahaman lebih dalam tentang Al-Quran, maupun contoh-contoh penerapan kaidah-kaidah tafsir dan metode-metodenya.
    Sebagai contoh dapat dikemukakan materi ayat-ayat berikut, yang mendukung berbagai materi 'ulum Al-Quran: (1) Kisah: Al-Kahfi ayat 9-26 (ashhab al-kahfi), 83-101 (Dzu Al-Qarnain); Al-Qalam ayat 18-33 (ashhab Al-Jannah); (2) Jidal: Saba' ayat 24-7; Al-Hajj ayat 8-10 (etika berdiskusi); (3) Amtsal: Al-Nur ayat 45; Al-Baqarah ayat 261-5; (4) Aqsam: Al-'Ashr dan Al-Dhuha, (5) pengulangan ism: Al-Insyirah ayat 5-6; (6) Al-Nakirah fi Siyaq Al-Nafi: Yunus ayat 107; dan lain-lain.

    D. Macam-macam Etika Mufassir
    Adapun adab atau etika yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
    1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
    2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
    3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
    4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
    5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
    6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.

    E. Mengapa Perlu ada Etika Mufassir?
    Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
    وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
    “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
    (Q.S.An-Nahl89)

    Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
    وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
    “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)

    Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir.

    Mengkaji sebuah ayat dan firman Allah bukanlah bersumber akal belaka yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan apa yang di maksudkan oleh ayat tersebut, sehingga demikian ia membutuhkan pembimbingn yang menunjuk pada jalan tersebut. Sebutlah Rasulullah ketika sahabat Abu Bakar datang dengan pertanyaan sinis, lantas siapakah yang selamat dari kezhaliman? Ketika turun ayat:
    ”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-An’am: 82) .
    Kemudian Rasulullah menerangkan makna Zhulmun yakni kesyirikan, hal sersebut sebagaimana tercantum dalam surat Luqman ayat 13.
    “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

    Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).

    Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
    Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.

    Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.

    Refrensi:
    1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323.
    2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
    3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
    4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
    5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342
    6_Abdul Wahid Ramli.Drs, Ulumul Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
    7_Nata Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992
    8_Abdul Halim M, Memahami Al-Qur’an, Marja’, Bandung, 1999
    9_Shaleh K.H, Asbabun Nuzul, C.V Diponegoro, Bandung, 1992
    10_Al-Alwi Sayyid Muhammad Ibn Sayyid Abbas, Faidl Al-Khobir, Al-Hidayah, Surabaya

    Syarat-syarat Mufassir dan Adabnya

    A. Makna Syarat-syarat Mufassir
    Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir. Sebelum melangkah lebih dalam tentang tafsir Alqur’an, ada beberapa hal yang harus di pahami terlebih dahulu, diantaranya harus paham dulu apa itu tafsir, Al-qur’an dll. Dengan ini dipaparkan sedikit untuk bisa kita melangkah lebih jauh tentang tafsir Al-qur’an.


    Awalnya, Al Quran turun secara berangsur-angsur selama lebih dari 22 tahun sebagai intruksi Allah atas Nabi serta ummatnya. Kadang, turunnya Al Quran sebagai reaksi atas sebuah fenomena atau permasalahan riil saat itu. Oleh karena itu, dalam Al Quran banyak di dapati hal-yang berhubungan dengan aktifitas dan keperluan manusia baik didunia apalagi di akhirat.
    Dan Al Quran merupakan sumber terpenting sebagai rujukan utama ilmu-ilmu bahasa, sastra,dan bahkan melahirkan ilmu sosial dan dasar-dasar administrasi tata Negara, oleh karena itu tersedianya sarana dan prasarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan nilai khusus bagi kematangan kajiannya.


    Kajian ilmiah yang objektif adalah merupakan dasar ilmu pengetahuan yang benar yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui itu pulalah ia dapat bermanfaat. Maka dari pada itu seorang mufassir tidak jauh dengan hal tersebut bahkan lebih disebabkan ia adalah tuntunan syariat serta pedoman agama. (Manna’ Al Qaththan, Pustaka Al Kauts:414).
    Pengertian syarat mufassir adalah jalur serta rel sahnya seorang menafsirkan Al-Qur’an, syarat amat sangat urgen bagi siapa pun yang ingin menafsirkan sebuah ayat apata lagi menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan. Setiap disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan sebuah syarat sebagai penunjang utama dalam langkah menuju objektif. 

    Tafsir tidak hanya satu jalur setelah sekian panjang perjalanan ummat ini maka sampailah kita pada masa yang amat jauh dengan qurun Rasulullah dan para sahabatnya, demikian dapat dikategorikan pengambilan tafsir dengan beberapa hal;
    1. Sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah Saw, terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al Qur'an.
    Tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini di sebut Tafsir manquul. Seperti diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Ashshalaatul wusthaa dalam surat (2) Al Baqarah ayat 238 maksudnya ialah : sembahyang ashar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata: Aku menayakan kepada Rasullah Saw tentang Yaumul Hajjil Akbar dalam surat (9) At Taubah ayat 3, Rasulullah menjawab: Yaumun nahr.
    Tafsir yang berbeda dari sabda, perbuatan, taqrir dan jawaban Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya dengan hadits, maka sanad ini ada yang shaheh, yang hasan, yang dhaif, yang maudhu' dan sebagainya. Begitu pula sering didapat maknanya bertentangan dengan kabar yang mutawir, bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an, perlu ditiadakan penelitian lebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
    2. Ijtihad. Diantara para sahabat dan tabi'ien dalam menafsirkan Al Quraan, disamping menggunakan hadits-hadits Nabi, juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, tahu tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, tahu adat istiadat. Arab Jahiliyah dan tentang cerita-cerita Israiliyat dan sebagainya. Contohnya ialah: kata Aththuur dalam ayat 63 ayat 2 Al Baqarah di tafsirkan dengan tafsiran yang berbeda. Mujahid menafsirkannya dengan gunung sedang Ibnu Abbas menafsirkannya dengan gunung Thuur dan sebagainya. Di samping itu ada pula diantara sahabat dan tabi'ien yang tidak mau menafsirkan Al Qur'an menurut ijtihad mereka, beliau menjawab: Saya tidak akan mengatakan sesuatu tentang Al Qur'an.
    3. Cerita-cerita Israiliyaat: ialah perkhabaran yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari Israiliyaat ini, sebab Nabi Muhammad Saw sendiri pernah berkata: Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli Kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta. Maksudnya ialah supaya kaum Muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli Kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.

    B. Macam-macam syarat mufassir
    Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
    1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an serta memiliki pengaruh besar terhadap jiwa pemiliknya, dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nash-nash, tidak jujur dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah tafsir, maka ditakwilkannya ayat-ayat yang bertentangan dengan akidahnya, kemudian menggiringnya kepada madzhabnya yang batil, guna memalingkan orang-orang dari mengikuti golongan golongan dan jalan petunjuk.
    2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan pendapat atau madzhabnya.
    3)- Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada satu tempat telah terperinci di tempat lain dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di tempat telah diuraikan di tempat lain.
    4)- Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasnya. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa semua ketetapan hukum Rasulullah berasal dari Allah,
    ” Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.(An-Nisaa:105)
    Demikian pula ditegaskan dalam Surah An Nahl : 44.
    “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
    Rasulullah bersabda, “Ketahuilah bahwa telah diberikan kepadaku Al-Qur’an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa dengannya,” yakni Sunnah.
    Berkenaan dengan ini Imam Asy-syafi’ie berkata, “Segala sesuatu yang diputuskan Rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.
    5)- Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid berkata; “Tidak boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
    5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih (mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai dengan nusus syari’ah,
    6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan. Lebih daripada itu seorang mufassir lebih jeli dan teliti utamanya spesial dalam bahasa. Bahasa Arab kerana dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa kata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek.
    Oleh kerana demikian pentingnya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid mengatakan,
    لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
    “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
    2. Nahwu kerana suatu makna boleh saja akan berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbezaan i’rabnya.
    3. Tashrif (sharaf) kerana dengannya dapat diketahui bina’ (struktur) dan shighah suatu kata.
    4. Isytiqaq kerana suatu nama apabila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang berbeza, maka ertinya pun juga pasti berbeza. Misalnya (
    المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
    5. Al-Ma‘ani karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
    6. Al-Bayan karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi perbezaannya sesuai dengan jelas atau tidaknya suatu makna.
    7. Al-Badi‘ kerana dengannya dapat diketahui pengkhususan tarkib (karangan) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
    Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sensitiviti terhadap keindahan bahasa (i‘jaz) Al-Quran.
    8. Ilmu qira’ah kerana dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’ lainnya.
    9. Usuluddin (prinsip-prinsip agama) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara teksl menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli usul berperanan untuk mentakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
    10. Usul fiqh kerana dengannya dapat diketahui wajh al-istidlal (penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbath.
    11. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) kerana dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
    12. An-Nasikh wa al-Mansukh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
    13. Fiqh.
    14. Hadis-hadis untuk mentafsirkan yang mujmal (umum) dan mubham (tidak diketahui).
    15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
    Dalam sebuah hadits disebutkan,
    من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
    “Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahkannya ilmu yang belum ia ketahui.”
    Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbath darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
    Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki autoriti untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang mentafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, bererti ia mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang. Namun apabila mentafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang.
    8. Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an:
    a. Ilmu Qiraat kerana dengannya seseorang itu dapat mengetahui cara-cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an dan dapat pula memilih bacaan yang lebih kuat di antara berbagai ragam bacaan yang ada, malah qiraat juga dapat memastikan maksud yang sebenarnya apabila terjadi perselisihan.
    b. Mendalami ilmu Usuluddin dan ilmu tauhid karena dengannya seseorang
    mufassir diharapkan dapat mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ketuhanan dan hak-hak Allah dengan betul serta tidak mentakwilkannya dengan sewenang-wenangnya atau melampaui batasan.

    C. Berpengetahuan dalam Usul Fiqh karena ia dapat membantu mufassir bagaimana hendak membuat kesimpualan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan berdalil dengannya. Begitu juga mengenai ayat-ayat mujmal dan mubayyan, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, amar dan nahy dan perkara-perkara yang berkaitan.

    d. Berpengetahuan yang luas dalam bidang pokok-pokok ilmu tafsir dapat membantu memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan betul dan mendalam.
    Contohnya Asbab al-Nuzul akan menolong mufassir dalam memahami maksud ayat berdasarkan latar belakang penurunan ayat. Begitu pula dengan An-Nasikh dan Al-Mansukh serta ilmu-ilmu yang lainnya.

    9. Memiliki ketelitian dan kecermatan dalam pemahaman, sehingga dengannya mufassir boleh membezakan antara pendapat-pendapat yang saling berdekatan, kerananya mufassir tersebut dapat mengambil kesimpulan hukum yang sesuai dengan nas-nas syariat.
    Mentafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
    “Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi [2874])
    Orang yang memenuhi syarat-syarat mufassir dibolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaedah dan peraturan yang ditetepkan. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang kompeten dalam bidang ini.

    C. Defenisi Etika Mufassir
    Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran". Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu.

    Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
    Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama.

    Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-Shina'ah thawilah wa al-'umr, gashir, " demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an.163
    .

    Di sisi lain, perkembangan ilmu ini dan keanekaragaman disiplinnya, menuntut para ahli agar bersikap sangat selektif dalam memilih matakuliah-matakuliah yang ditampung dalam satu kurikulum, suatu hal yang sering mengakibatkan pengasuh matakuliah tertentu merasa dirugikan atau disepelekan oleh penyusun kurikulum tersebut.

    Kenyataan di atas mengantarkan kita untuk menekankan perlunya menetapkan terlebih dahulu tujuan pengajaran tafsir di IAIN. Tujuan yang dimaksud di atas bukannya tujuan akhir yang ideal dari suatu pendidikan yang kemudian diturunkan menjadi tujuan kurikuler sampai kepada tujuan instruksional, tetapi terbatas hanya pada bidang kognitif tanpa mempermasalahkan segi afektif dan psikomotorik kehidupan peserta didik.

    Hemat penulis, pengajaran tafsir di perguruan tinggi seyogianya tidak ditekankan pada pemahaman kandungan makna suatu ayat, atau pemberian ide tentang suatu masalah dalam bidang disiplin ilmu, tetapi melampaui hal tersebut, yaitu dengan memberi mereka kunci-kunci yang kelak dapat mengantarkannya untuk memahami Al-Quran serta kandungannya secara mandiri.

    Jika itu yang menjadi tujuan pengajaran tafsir, maka materi ayat-ayat yang dipilih, atau masalah-masalah ilmu tafsir yang diajarkan, (mesti) tidak lagi menitikberatkan pada kandungan arti suatu ayat atau masalah tertentu, satu hal yang selama ini telah mengakibatkan tumpang-tindihnya permasalahan tersebut dengan disiplin ilmu lain yang juga memilih masalah yang sama. Pemilihan hendaknya lebih banyak didasarkan pada cakupan kunci-kunci pemahaman yang dapat mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang dimaksud.

    Pokok Bahasan Tafsir
    Kalau kita menoleh kepada materi Ilmu Tafsir atau 'Ulum Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan oleh Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan, maka akan ditemukan 47 pokok bahasan, tidak termasuk di dalamnya materi tafsir dan pengenalan terhadap kitab-kitab tafsir, yang sebagian uraian tentangnya, sebagaimana diakui oleh Al-Zarkasyi sendiri, belum memadai.

    Hemat penulis, secara garis besar, terdapat sekian banyak pokok bahasan tafsir yang harus diketahui oleh seluruh mahasiswa IAIN, apa pun nama komponen matakuliahnya. Pokok bahasan itu antara lain:
    1. Pengenalan terhadap Al-Quran
    Pokok bahasan ini hendaknya mencakup: (a) persoalan wahyu, pembuktian adanya serta macam-macamnya; (b) Al-Quran dan kedudukannya dalam syariat (agama) Islam; (c) garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa Al-Quran tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun agama); (d) Al-Quran sebagai petunjuk dan mukjizat; (e) otentisitas Al-Quran (tinjauan historis); (f) batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Quran; dan (g) sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.
    Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengenal Al-Quran secara sederhana tetapi utuh.

    2. Pengenalan terhadap Beberapa Pokok Bahasan Ilmu Tafsir
    Pokok bahasan ini mencakup: (a) arti tafsir dan ta'wil; (b) tafsir, sejarah dan kepentingannya; (c) asbab al-nuzul; (d) al-munasabat (korelasi antar ayat); (e) al-muhkam dan al-mutasyabih; (f) sebab-sebab kekeliruan dalam menafsirkan Al-Quran; (g) corak dan aliran-aliran tafsir yang populer; dan (h) sebab-sebab perbedaan corak penafsiran.
    Dengan mengetahui masalah-masalah di atas, peserta didik diharapkan dapat mengetahui, secara umum, permasalahan tafsir, kesukaran dan kemudahannya, serta syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
    Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi pengajaran hendaknya lebih ditekankan pada cakupan materi tersebut pada kunci-kunci yang dapat mengantarkannya secara mandiri untuk memahami kandungan Al-Quran. Atas dasar pertimbangan tersebut, dapat kiranya dikemukakan di sini beberapa pokok bahasan yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang dimaksud. Materi-materi yang disebutkan berikut dapat dibagi sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.
    Materi-materi 'ulum Al-Qur'an dapat dibagi dalam empat komponen: (1) pengenalan terhadap Al-Quran; (2) kaidah-kaidah tafsir; (3) metode-metode tafsir; dan (4) kitab-kitab tafsir dan para mufasir.

    Pengenalan terhadap Al-Quran
    Komponen ini mencakup, (a) sejarah Al-Quran, (b) rasm Al-Quran, (c) i'jaz Al-Quran, (d) munasabat Al-Quran, (e) qishash Al-Quran, (f) jadal Al-Quran, (g) aqsam Al-Quran, (h) amtsal Al-Quran, (i) naskh dan mansukh, (j) muhkam dan mutasyabih, dan (k) al-qira'ah.
    Kaidah-kaidah Tafsir
    Komponen ini mencakup: (a) ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Quran, (b) sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, dan (c) patokan-patokan khusus yang membantu pemahaman ayat-ayat Al-Quran, baik dari ilmu-ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqh, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Quran. Sebagai contoh dapat dikemukakan kaidah-kaidah berikut: (1) kaidah ism dan fi'il, (2) kaidah ta'rif dan tankir, (3) kaidah istifham dan macam-macamnya, (4) ma'ani al-huruf seperti 'asa, la'alla, in, idza, dan lain-lain, (5) kaidah su'al dan jawab, (6) kaidah pengulangan, (7) kaidah perintah sesudah larangan, (8) kaidah penyebutan nama dalam kisab, (9) kaidah penggunaan kata dan uslub Al-Quran, dan lain-lain.

    Metode-metode Tafsir
    Komponen ini mencakup metode-metode tafsir yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim dengan ketiga coraknya: al-ra'yu, al-ma'tsur, dan al-isyari, disertai penjelasan tentang syarat-syarat diterimanya suatu penafsiran serta metode pengembangannya; dan mencakup juga metode-metode mutaakhir dengan keempat macamnya: tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawdhu'iy.
    Kitab-kitab Tafsir dan Para Mufasir
    Komponen ini mencakup pembahasan tentang kitab-kitab tafsir baik yang lama maupun yang baru, yang berbahasa Arab, Inggris, atau Indonesia, dengan mempelajari biografi, latar belakang, dan kecenderungan pengarangnya, metode dan prinsip-prinsip yang digunakan, serta keistimewaan dan kelemahannya.
    Pemilihan kitab atau pengarang disesuaikan dengan berbagai corak atau aliran tafsir yang selama ini dikenal, seperti corak fiqhiy, shufiy, 'ilmiy, bayan, falsafiy, adabiy, ijtima'iy, dan lain-lain.

    Materi Tafsir
    Sebagaimana dikemukakan di atas, pemilihan materi ayat-ayat di samping berdasarkan kandungannya, juga, dan yang terutama, peranannya dalam menunjang pemahaman materi-materi 'ulum Al-Quran, baik untuk pemahaman lebih dalam tentang Al-Quran, maupun contoh-contoh penerapan kaidah-kaidah tafsir dan metode-metodenya.
    Sebagai contoh dapat dikemukakan materi ayat-ayat berikut, yang mendukung berbagai materi 'ulum Al-Quran: (1) Kisah: Al-Kahfi ayat 9-26 (ashhab al-kahfi), 83-101 (Dzu Al-Qarnain); Al-Qalam ayat 18-33 (ashhab Al-Jannah); (2) Jidal: Saba' ayat 24-7; Al-Hajj ayat 8-10 (etika berdiskusi); (3) Amtsal: Al-Nur ayat 45; Al-Baqarah ayat 261-5; (4) Aqsam: Al-'Ashr dan Al-Dhuha, (5) pengulangan ism: Al-Insyirah ayat 5-6; (6) Al-Nakirah fi Siyaq Al-Nafi: Yunus ayat 107; dan lain-lain.

    D. Macam-macam Etika Mufassir
    Adapun adab atau etika yang harus dimiliki seorang mufassir adalah sebagai berikut :
    1. Niatnya harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam Nawawy dalam buku Arba’in nya).
    2. Berakhlak mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
    3. Mengamalkan ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan penerimaan yang lebih baik.
    4. Hati-hati dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya terlebih dahulu kebenarannya.
    5. Berani dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
    6. Tenang dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.

    E. Mengapa Perlu ada Etika Mufassir?
    Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada nabi muhammad lewat perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
    وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَـبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهَدَى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
    “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
    (Q.S.An-Nahl89)

    Mempelajari isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
    وَلَقَدْ جِئْنَـهُمْ بِكِتَـبٍ فَصَّلْنَـهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
    “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)

    Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir.

    Mengkaji sebuah ayat dan firman Allah bukanlah bersumber akal belaka yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan apa yang di maksudkan oleh ayat tersebut, sehingga demikian ia membutuhkan pembimbingn yang menunjuk pada jalan tersebut. Sebutlah Rasulullah ketika sahabat Abu Bakar datang dengan pertanyaan sinis, lantas siapakah yang selamat dari kezhaliman? Ketika turun ayat:
    ”Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (Al-An’am: 82) .
    Kemudian Rasulullah menerangkan makna Zhulmun yakni kesyirikan, hal sersebut sebagaimana tercantum dalam surat Luqman ayat 13.
    “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

    Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob (menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).

    Penulis sangat teliti dalam mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh. Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya. Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini “.
    Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih., dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil. Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik) dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.

    Menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.

    Refrensi:
    1 Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13, Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal : 323.
    2 Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8
    3 Marfu’ adalah perkataaan atau perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
    4 Mauquf adalah perkataan atau perbuatan yang disandarkan kepada para shohabat
    5 majmu’ fatawa syaikhul Islam ibnu taimiyah 13/370 dan buku mabahits fi ulumul al-qur’an ole mann’ al-qotton hal ; 340-342
    6_Abdul Wahid Ramli.Drs, Ulumul Qur’an, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
    7_Nata Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992
    8_Abdul Halim M, Memahami Al-Qur’an, Marja’, Bandung, 1999
    9_Shaleh K.H, Asbabun Nuzul, C.V Diponegoro, Bandung, 1992
    10_Al-Alwi Sayyid Muhammad Ibn Sayyid Abbas, Faidl Al-Khobir, Al-Hidayah, Surabaya

    Minggu, 12 Agustus 2018


    Lagi, Tentara Israel Tembak Mati Paramedis Palestina

    Liputan6.com, Gaza - Tiga pria Palestina tewas dan sekitar 130 orang terluka menyusul bentrokan terbaru antara penduduk Palestina dengan tentara Israel yang pecah di Jalur Gaza, Jumat 10 Agustus lalu --pihak kementerian kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas melaporkan pada Sabtu 11 Agustus 2018.
    Satu dari tiga korban tewas adalah seorang relawan paramedis bernama Abdullah Al Qatati (21), kata pihak kementerian kesehatan Gaza, yang menyebut bahwa pemuda itu meninggal akibat luka tembak di kepala. Demikian seperti dikutip dari media Uni Emirat Arab The National, Minggu (12/8/2018).
    Seorang pria lain (40), tewas akibat luka tembak yang dideritanya, yang diduga berasal dari senapan tentara perbatasan Israel di Rafah, Gaza. Sempat mendapat perawatan pada Jumat 10 Agustus, pria itu mengembuskan napas terakhir pada Sabtu 11 Agustus.
    Pihak kementerian juga mengklaim bahwa sekitar 131 orang terluka akibat bentrokan terbaru itu, dengan sekitar 85 di antaranya tertembak peluru tajam tentara Israel.
    Peristiwa itu terjadi di tengah berbagai laporan mengenai gencatan senjata antara Hamas (organisasi militan sekaligus penguasa de facto Gaza) dengan Israel, yang menurut kabar, berlaku sejak Kamis 9 Agustus tengah malam. Gencatan senjata itu sendiri berlaku berkat langkah diplomatik Mesir dan komunita internasional, yang berupaya meredam konflik Hamas-Israel yang meruncing sejak Maret 2018.
    Prakarsa gencatan senjata itu juga muncul setelah rangkaian aksi balas-membalas serangan udara terbaru yang dilakukan oleh Hamas dan Israel pada Selasa hingga Rabu, 7-8 Agustus 2018 --menewaskan tiga orang, termasuk seorang anak dan ibu hamil.
    Kendati demikian, pihak Israel menyanggah telah menyepakati gencata senjata dengan pihak Hamas yang dimediasi oleh Mesir. Demikian seperti dikutip dari Haaretz.

    Akan tetapi, sejak Kamis hingga akhir pekan ini, tak ada laporan mengenai serangan udara yang dilancarkan oleh Hamas maupun Israel --walaupun ada beberapa kabar mengenai drone Israeli Defense Forces (IDF) yang terbang di wilayah Gaza demi menyisir potensi "ancaman", menurut pihak IDF.
    Meski tak ada serangan udara, demonstrasi rutin warga Gaza di perbatasan Israel tetap digelar. Menurut kabar, hal itu dilaksanakan sebagai bentuk protes atas serangan misil Israel pada Rabu malam lalu.
    Mereka yang meninggal dalam demonstrasi Jumat lalu menjadikan angka orang Palestina yang tewas bertambah hingga setidaknya 168 jiwa. Sebagian besar tewas akibat bentrokan berdarah 'The Great March of Return' yang rutin digelar di perbatasan Gaza-Israel pada Jumat setiap pekan sejak Maret 2018. Sementara sisanya, tewas akibat serangan udara Israel.

    Bentrok Pecah di Tengah Gencatan Senjata Israel-Hamas di Gaza, 3 Pria Palestina Tewas


    Lagi, Tentara Israel Tembak Mati Paramedis Palestina

    Liputan6.com, Gaza - Tiga pria Palestina tewas dan sekitar 130 orang terluka menyusul bentrokan terbaru antara penduduk Palestina dengan tentara Israel yang pecah di Jalur Gaza, Jumat 10 Agustus lalu --pihak kementerian kesehatan Gaza yang dikuasai Hamas melaporkan pada Sabtu 11 Agustus 2018.
    Satu dari tiga korban tewas adalah seorang relawan paramedis bernama Abdullah Al Qatati (21), kata pihak kementerian kesehatan Gaza, yang menyebut bahwa pemuda itu meninggal akibat luka tembak di kepala. Demikian seperti dikutip dari media Uni Emirat Arab The National, Minggu (12/8/2018).
    Seorang pria lain (40), tewas akibat luka tembak yang dideritanya, yang diduga berasal dari senapan tentara perbatasan Israel di Rafah, Gaza. Sempat mendapat perawatan pada Jumat 10 Agustus, pria itu mengembuskan napas terakhir pada Sabtu 11 Agustus.
    Pihak kementerian juga mengklaim bahwa sekitar 131 orang terluka akibat bentrokan terbaru itu, dengan sekitar 85 di antaranya tertembak peluru tajam tentara Israel.
    Peristiwa itu terjadi di tengah berbagai laporan mengenai gencatan senjata antara Hamas (organisasi militan sekaligus penguasa de facto Gaza) dengan Israel, yang menurut kabar, berlaku sejak Kamis 9 Agustus tengah malam. Gencatan senjata itu sendiri berlaku berkat langkah diplomatik Mesir dan komunita internasional, yang berupaya meredam konflik Hamas-Israel yang meruncing sejak Maret 2018.
    Prakarsa gencatan senjata itu juga muncul setelah rangkaian aksi balas-membalas serangan udara terbaru yang dilakukan oleh Hamas dan Israel pada Selasa hingga Rabu, 7-8 Agustus 2018 --menewaskan tiga orang, termasuk seorang anak dan ibu hamil.
    Kendati demikian, pihak Israel menyanggah telah menyepakati gencata senjata dengan pihak Hamas yang dimediasi oleh Mesir. Demikian seperti dikutip dari Haaretz.

    Akan tetapi, sejak Kamis hingga akhir pekan ini, tak ada laporan mengenai serangan udara yang dilancarkan oleh Hamas maupun Israel --walaupun ada beberapa kabar mengenai drone Israeli Defense Forces (IDF) yang terbang di wilayah Gaza demi menyisir potensi "ancaman", menurut pihak IDF.
    Meski tak ada serangan udara, demonstrasi rutin warga Gaza di perbatasan Israel tetap digelar. Menurut kabar, hal itu dilaksanakan sebagai bentuk protes atas serangan misil Israel pada Rabu malam lalu.
    Mereka yang meninggal dalam demonstrasi Jumat lalu menjadikan angka orang Palestina yang tewas bertambah hingga setidaknya 168 jiwa. Sebagian besar tewas akibat bentrokan berdarah 'The Great March of Return' yang rutin digelar di perbatasan Gaza-Israel pada Jumat setiap pekan sejak Maret 2018. Sementara sisanya, tewas akibat serangan udara Israel.

    Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
    Liputan6.com, Jakarta - Perdagangan bilateral Indonesia-Palestina belum menunjukkan volume yang besar. Minimnya volume perdagangan kedua negara tidak terlepas dari kondisi dalam negeri Palestina yang terus dilanda konflik.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai total perdagangan kedua negara pada tahun 2017 sebesar USD 2,39 juta dan sepenuhnya merupakan perdagangan nonmigas. Ekspor Indonesia ke Palestina tahun 2017 sebesar USD 2,05 juta, dan impor Indonesia dari Palestina tahun 2017 sebesar USD 341 ribu berupa kurma. Neraca perdagangan Indonesia Palestina pada 2017 surplus bagi Indonesia sebesar USD 1,7 Juta.
    Saat ini, pemerintah Indonesia sudah menjalin kerjasama perdagangan dengan Palestina melalui pembebasan bea masuk komoditi asal Palestina. Kerjasama tersebut bertujuan untuk membangun kembali ekonomi Palestina dengan cara kemudahan perdagangan.
    Hal itu ditandai dengan adanya MoU yang berisi Pengaturan Pelaksanaan atau Implementing Arrangement (IA) pada Nota Kesepahaman (MoU) tentang pemberian preferensi penghapusan tarif bea masuk 0 persen bagi produk asal Palestina yang ditandangani hari ini oleh Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dan Duta Besar Palestina di Jakarta, Zuhair Al-Shun.
    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Iman Pambagyo mengatakan saat ini baru dua komoditi yang dikenai bea masuk 0 persen yaitu Minyak Zaitun dan kurma.
    "Satu kode HS untuk buah kurma baik untuk yang fresh maupun dry dan minyam ziatun itu ada 2 kode HS," kata Iman di kantornya, Senin (6/8/2018).
    Sementara itu, Indonesia juga telah mengajukan penawaran komoditas apa saja yang bisa diekspor dari Indonesia. Namun, belum ada daftar resmi komoditas apa saja yang akan diekspor.
    "Sebetulnya kita sudah 2 - 3 bulan ini minta mereka datang, kira-kira yang mereka perlukan lagi apa. Karena ini return kita juga akan sampaikan kepada mereka kita tertarik untuk apa. Begitu kita dapat listnya kita akan sampaikan draft PTE nya sudah kita siapkan," ujarnya.
    Iman menjelaskan pihak pemerintah Indonesia tidak membatasi komoditas yang sekiranya akan diminta oleh pihak Palestina.
    "Kita kan lagi nunggu list nya mereka seperti apa nanti kita juga cocokan dengan list kita. Kita enggak tentukan list atau siapkan karena di Buenos Aires Pak Mentri (Enggartasto Lukita) kita nanya ke menterk ekonomi Palestina anda butuh apa? Kami banyak butuh karena banyak sektor profuksi yang hancur karena konflik disana."
     https://www.liputan6.com/bisnis/read/3611540/ini-kondisi-hubungan-dagang-indonesia-palestina

    Ini Kondisi Hubungan Dagang Indonesia-Palestina

    Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
    Liputan6.com, Jakarta - Perdagangan bilateral Indonesia-Palestina belum menunjukkan volume yang besar. Minimnya volume perdagangan kedua negara tidak terlepas dari kondisi dalam negeri Palestina yang terus dilanda konflik.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai total perdagangan kedua negara pada tahun 2017 sebesar USD 2,39 juta dan sepenuhnya merupakan perdagangan nonmigas. Ekspor Indonesia ke Palestina tahun 2017 sebesar USD 2,05 juta, dan impor Indonesia dari Palestina tahun 2017 sebesar USD 341 ribu berupa kurma. Neraca perdagangan Indonesia Palestina pada 2017 surplus bagi Indonesia sebesar USD 1,7 Juta.
    Saat ini, pemerintah Indonesia sudah menjalin kerjasama perdagangan dengan Palestina melalui pembebasan bea masuk komoditi asal Palestina. Kerjasama tersebut bertujuan untuk membangun kembali ekonomi Palestina dengan cara kemudahan perdagangan.
    Hal itu ditandai dengan adanya MoU yang berisi Pengaturan Pelaksanaan atau Implementing Arrangement (IA) pada Nota Kesepahaman (MoU) tentang pemberian preferensi penghapusan tarif bea masuk 0 persen bagi produk asal Palestina yang ditandangani hari ini oleh Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita dan Duta Besar Palestina di Jakarta, Zuhair Al-Shun.
    Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Iman Pambagyo mengatakan saat ini baru dua komoditi yang dikenai bea masuk 0 persen yaitu Minyak Zaitun dan kurma.
    "Satu kode HS untuk buah kurma baik untuk yang fresh maupun dry dan minyam ziatun itu ada 2 kode HS," kata Iman di kantornya, Senin (6/8/2018).
    Sementara itu, Indonesia juga telah mengajukan penawaran komoditas apa saja yang bisa diekspor dari Indonesia. Namun, belum ada daftar resmi komoditas apa saja yang akan diekspor.
    "Sebetulnya kita sudah 2 - 3 bulan ini minta mereka datang, kira-kira yang mereka perlukan lagi apa. Karena ini return kita juga akan sampaikan kepada mereka kita tertarik untuk apa. Begitu kita dapat listnya kita akan sampaikan draft PTE nya sudah kita siapkan," ujarnya.
    Iman menjelaskan pihak pemerintah Indonesia tidak membatasi komoditas yang sekiranya akan diminta oleh pihak Palestina.
    "Kita kan lagi nunggu list nya mereka seperti apa nanti kita juga cocokan dengan list kita. Kita enggak tentukan list atau siapkan karena di Buenos Aires Pak Mentri (Enggartasto Lukita) kita nanya ke menterk ekonomi Palestina anda butuh apa? Kami banyak butuh karena banyak sektor profuksi yang hancur karena konflik disana."
     https://www.liputan6.com/bisnis/read/3611540/ini-kondisi-hubungan-dagang-indonesia-palestina


    Amril Amarullah, Jurnalis · Senin, 23 Juli 2018 - 08:18 wib


    MADINAH – Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji Indonesia dengan memperbaiki sejumlah fasilitas yang ada di Tanah Suci patut diacungi jembol. Baik pemondokan, transportasi, katering, bimbingan haji, keamanan, dan juga kesehatan.
    Jauh dari kesan buruk, itulah gambaran Tim Media Center Haji (MCH) ketika mendapat kesempatan melihat langsung fasilitas hotel yang ada di beberapa kamar boleh dikatakan membanggakan. Tentu ini bukan isapan jempol semata, bahkan ada yang selevel bintang lima.
    Boleh dibilang fasiliatas yang tersedia di musim haji tahun 2018 jauh lebih baik dari sebelumnya. Itu terlihat ketika Tim MCH memasuki Hotel Elaf Nakheel salah satu hotel di Sektor 5 Madinah, jaraknya hanya sekira 300 meter dari Masjid Nabawi. Tentu, ini sangat memudahkan jamaah yang ingin beribadah berkali-kali.
    Kamar tersebut sudah dilengkapi pendingin ruangan (AC), kulkas, televisi LED, dan kasur empuk. Begitupun fasilitas kamar mandi yang jauh dari kesan buruk. Terlihat ada heater (pemanas air), hair dryer, dan kasur empuk. Jamaah juga bisa mencuci pakaian langsung menggunakan mesin cuci, termasuk disediakan tempat menjemur.

    Dari 107 hotel di Madinah yang disiapkan panitia, rata-rata berjarak dekat, paling jauh 500 meter dari Masjid Nabawi. Salah seorang Jamaah asal Bekasi mengaku puas dengan pelayanan hotel. Tempatnya rapi, bagus, dan juga lengkap. Satu yang terpenting dekat dengan Masjid Nabawi.
    “Alhamdulillah bagus, memuaskan, apalagi dekat dengan Masjid Nabawi,” ujar Babeh Duloh –biasa ia disapa.
    Bukan hanya di Madinah, hotel yang disiapkan panitia di Makkah pun demikian. Di sektor 2 di Jawahrat Al Abead Hotel yang berjarak sekira 3,2 km dari Masjidil Haram ini memiliki 12 lantai dan berdinding full marmer.
    "Lift yang digunakan modern karena menggunakan tombol sentuh, bahkan ada bunyi peringatan ketika overload penumpang," ujar Endang Jumali, Kadaker Makkah.
    Bahkan ada masjid disediakan di hotel ini, untuk jamaah yang akan menunaikan ibadah salat berjamaah. Tidak sedikit jamaah yang memanfaatkan untuk tahlilan atau kegiatan keagamaan lainnya.
    (han)

    Mengintip Fasilitas dan Layanan Jamaah Haji 2018 yang Jauh dari Kesan Buruk


    Amril Amarullah, Jurnalis · Senin, 23 Juli 2018 - 08:18 wib


    MADINAH – Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji Indonesia dengan memperbaiki sejumlah fasilitas yang ada di Tanah Suci patut diacungi jembol. Baik pemondokan, transportasi, katering, bimbingan haji, keamanan, dan juga kesehatan.
    Jauh dari kesan buruk, itulah gambaran Tim Media Center Haji (MCH) ketika mendapat kesempatan melihat langsung fasilitas hotel yang ada di beberapa kamar boleh dikatakan membanggakan. Tentu ini bukan isapan jempol semata, bahkan ada yang selevel bintang lima.
    Boleh dibilang fasiliatas yang tersedia di musim haji tahun 2018 jauh lebih baik dari sebelumnya. Itu terlihat ketika Tim MCH memasuki Hotel Elaf Nakheel salah satu hotel di Sektor 5 Madinah, jaraknya hanya sekira 300 meter dari Masjid Nabawi. Tentu, ini sangat memudahkan jamaah yang ingin beribadah berkali-kali.
    Kamar tersebut sudah dilengkapi pendingin ruangan (AC), kulkas, televisi LED, dan kasur empuk. Begitupun fasilitas kamar mandi yang jauh dari kesan buruk. Terlihat ada heater (pemanas air), hair dryer, dan kasur empuk. Jamaah juga bisa mencuci pakaian langsung menggunakan mesin cuci, termasuk disediakan tempat menjemur.

    Dari 107 hotel di Madinah yang disiapkan panitia, rata-rata berjarak dekat, paling jauh 500 meter dari Masjid Nabawi. Salah seorang Jamaah asal Bekasi mengaku puas dengan pelayanan hotel. Tempatnya rapi, bagus, dan juga lengkap. Satu yang terpenting dekat dengan Masjid Nabawi.
    “Alhamdulillah bagus, memuaskan, apalagi dekat dengan Masjid Nabawi,” ujar Babeh Duloh –biasa ia disapa.
    Bukan hanya di Madinah, hotel yang disiapkan panitia di Makkah pun demikian. Di sektor 2 di Jawahrat Al Abead Hotel yang berjarak sekira 3,2 km dari Masjidil Haram ini memiliki 12 lantai dan berdinding full marmer.
    "Lift yang digunakan modern karena menggunakan tombol sentuh, bahkan ada bunyi peringatan ketika overload penumpang," ujar Endang Jumali, Kadaker Makkah.
    Bahkan ada masjid disediakan di hotel ini, untuk jamaah yang akan menunaikan ibadah salat berjamaah. Tidak sedikit jamaah yang memanfaatkan untuk tahlilan atau kegiatan keagamaan lainnya.
    (han)


    Hasil gambar untuk lembur kerja keras

    Budiman Mustofa, Lc., M.P.I **

    "Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (Al-Qasash: 77)


    Ayat di atas sangatlah populer kita dengar. Ada sebagian yang menyimpulkan bahwa kita harus seimbang antara dunia dan akhirat. Berarti harus fifty - fifty. Benarkah begitu? Ada lagi yang beranggapan bahwa kita harus mengumpulkan dunia sebanyak mungkin, tapi kita juga tidak boleh melupakan akhirat. Ada juga yang mengatakan akhirat harus diutamakan, bagaimanapun alasannya. Ya silahkan beralasan apapun tentang dunia, dan bagaimana kita harus bersikap terhadap akhirat. Masing-masing punya pandangannya.  
    Tapi ada beberapa hal prinsip yang harus kita sadari. Pertama, tidakkah kita sadar bahwa baik dunia atau pun akhirat keduanya harus dipersiapkan? Kedua, tidakkah kita sadar bahwa setiap persiapan dari keduanya pasti membutuhkan tenaga dan waktu juga pengorbanan? Ketiga, yakinkah kita bahwa jika salah satu darinya jika lebih banyak porsinya, maka yang satunya akan terpenuhi? Keempat, manakah dari keduanya yang lebih utama dan prioritas? Kelima, tidakkah kita sadar bahwa ada satu hal yang mampu memindahkan status dan posisi kita dari keduanya hanya dalam sekenap, yaitu "kematian"? Keenam, apakah kita sadar bahwa kematian itu datangnya tidak mengenal waktu, usia dan alasan?
    Itulah beberapa hal prinsip yang harus kita sadari secara mendalam. Dengan memahami itu maka kita akan mampu menyikapinya dengan benar. Ayat di atas bisa kita pahami bahwa Alloh telah menumpahkan dan melimpahkan kenikmatan dunia kepada kita, baik yang terlihat atau tidak terlihat. Yang bisa dihitung ataupun tidak. Sadarilah bahwa semua kenikmatan dunia itu hakikatnya Alloh berikan kepada kita untuk jembatan dan sarana melakukan amalan-amalan akhirat, menggunakannya untuk inveatasi akhirat. Maka, ambillah sebagian kenikmatan itu untuk kepentingan tabungan investasi akhirat kita. Jangan engkau gunakan an sich untuk kesenangan dunia, sehingga akan menjadi sia-sia. Adapun jika kenikmatan tersebut masih ada sisanya, maka silahkan nikmatilah sesuai dengan kebbutuhan, dan seperlunya. 
    Jadi, main object kita adalah akhirat. Dengan demikian, yang kita pikirkan setiap hari dan setiap detiknya adalah kepentingan akhirat. Siapapun kita? Apapun pekerjaan kita? Bagaimana prakteknya? Sangat mudah kita deteksi. Sampaikanlah pertanyaan sederhana pada diri kita, "Adakah jatah dan porsi akhirat dari pekerjaan yang kita lakukan? Berapa persenkah? Berapa besarkah?" 
    Tapi, faktanya banyak diantara kita yang berpayah-payah bekerja dan usaha, tapi dalam mindset nya ia akan membangun kerajaan bisnis, hanya untuk dunianya. Dan faktanya pula, banyak dari kita sehatian berlelah-lelah kerja tapi kewajibannya kepada Alloh swt terlalaikan dan dinomorduakan. Sholat selalu terlambat bahkan di kahir waktu. Apalagi jika ia sudah pada puncak kelelahan, maka ia akan lakukan sholat itu sak kobere sak nyandake , seingatnya dan sebisanya. Ini luar biasa. Astaghfirullahal 'azhiim. Seakan sudah tidak tersisa lagi waktu untuk akhiratnya. 
    Bekerjalah di dunia. Tapi, ikatlah dunia kita pada setiap tarikan nafas ini, setiap harinya, setiap detiknya, untuk tabungan akhirat kita. Jangan terlalu lelah mengejar dunia, nanti kita akan ditinggalkan akhirat. Padahal akhirat lebih hebat daripada dunia. Berilah porsi akhirat kita dalam setiap harinya. Jangan berlebihan mencintai dunia, padahal dunia secuil pun tidak menyatakan cinta pada kita. Untuk apa berlelah-lelah mengejar dunia, jika akhirnya kita tinggalkan dia tanpa jejak di akhirat. Salam sukses dan keberkahan dunia akhirat. Semoga Alloh swt memberikan kita kebaikan dunia dan akhirat. 
    ** Ketua Majelis Rndu Rasul – Penulis Buku Islam.

    JANGAN TERLALU LELAH MENGEJAR DUNIA


    Hasil gambar untuk lembur kerja keras

    Budiman Mustofa, Lc., M.P.I **

    "Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (Al-Qasash: 77)


    Ayat di atas sangatlah populer kita dengar. Ada sebagian yang menyimpulkan bahwa kita harus seimbang antara dunia dan akhirat. Berarti harus fifty - fifty. Benarkah begitu? Ada lagi yang beranggapan bahwa kita harus mengumpulkan dunia sebanyak mungkin, tapi kita juga tidak boleh melupakan akhirat. Ada juga yang mengatakan akhirat harus diutamakan, bagaimanapun alasannya. Ya silahkan beralasan apapun tentang dunia, dan bagaimana kita harus bersikap terhadap akhirat. Masing-masing punya pandangannya.  
    Tapi ada beberapa hal prinsip yang harus kita sadari. Pertama, tidakkah kita sadar bahwa baik dunia atau pun akhirat keduanya harus dipersiapkan? Kedua, tidakkah kita sadar bahwa setiap persiapan dari keduanya pasti membutuhkan tenaga dan waktu juga pengorbanan? Ketiga, yakinkah kita bahwa jika salah satu darinya jika lebih banyak porsinya, maka yang satunya akan terpenuhi? Keempat, manakah dari keduanya yang lebih utama dan prioritas? Kelima, tidakkah kita sadar bahwa ada satu hal yang mampu memindahkan status dan posisi kita dari keduanya hanya dalam sekenap, yaitu "kematian"? Keenam, apakah kita sadar bahwa kematian itu datangnya tidak mengenal waktu, usia dan alasan?
    Itulah beberapa hal prinsip yang harus kita sadari secara mendalam. Dengan memahami itu maka kita akan mampu menyikapinya dengan benar. Ayat di atas bisa kita pahami bahwa Alloh telah menumpahkan dan melimpahkan kenikmatan dunia kepada kita, baik yang terlihat atau tidak terlihat. Yang bisa dihitung ataupun tidak. Sadarilah bahwa semua kenikmatan dunia itu hakikatnya Alloh berikan kepada kita untuk jembatan dan sarana melakukan amalan-amalan akhirat, menggunakannya untuk inveatasi akhirat. Maka, ambillah sebagian kenikmatan itu untuk kepentingan tabungan investasi akhirat kita. Jangan engkau gunakan an sich untuk kesenangan dunia, sehingga akan menjadi sia-sia. Adapun jika kenikmatan tersebut masih ada sisanya, maka silahkan nikmatilah sesuai dengan kebbutuhan, dan seperlunya. 
    Jadi, main object kita adalah akhirat. Dengan demikian, yang kita pikirkan setiap hari dan setiap detiknya adalah kepentingan akhirat. Siapapun kita? Apapun pekerjaan kita? Bagaimana prakteknya? Sangat mudah kita deteksi. Sampaikanlah pertanyaan sederhana pada diri kita, "Adakah jatah dan porsi akhirat dari pekerjaan yang kita lakukan? Berapa persenkah? Berapa besarkah?" 
    Tapi, faktanya banyak diantara kita yang berpayah-payah bekerja dan usaha, tapi dalam mindset nya ia akan membangun kerajaan bisnis, hanya untuk dunianya. Dan faktanya pula, banyak dari kita sehatian berlelah-lelah kerja tapi kewajibannya kepada Alloh swt terlalaikan dan dinomorduakan. Sholat selalu terlambat bahkan di kahir waktu. Apalagi jika ia sudah pada puncak kelelahan, maka ia akan lakukan sholat itu sak kobere sak nyandake , seingatnya dan sebisanya. Ini luar biasa. Astaghfirullahal 'azhiim. Seakan sudah tidak tersisa lagi waktu untuk akhiratnya. 
    Bekerjalah di dunia. Tapi, ikatlah dunia kita pada setiap tarikan nafas ini, setiap harinya, setiap detiknya, untuk tabungan akhirat kita. Jangan terlalu lelah mengejar dunia, nanti kita akan ditinggalkan akhirat. Padahal akhirat lebih hebat daripada dunia. Berilah porsi akhirat kita dalam setiap harinya. Jangan berlebihan mencintai dunia, padahal dunia secuil pun tidak menyatakan cinta pada kita. Untuk apa berlelah-lelah mengejar dunia, jika akhirnya kita tinggalkan dia tanpa jejak di akhirat. Salam sukses dan keberkahan dunia akhirat. Semoga Alloh swt memberikan kita kebaikan dunia dan akhirat. 
    ** Ketua Majelis Rndu Rasul – Penulis Buku Islam.

    Sabtu, 11 Agustus 2018


    Ust. Budiman Mustofa, Lc., M.P.I**

    "Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)." (Al-Kautsar: 2)


    Himam adalah seorang tukang becak. Penghasilannya sehari hanya 50 ribu rupiah. Ia mempunyai seorang istri dan tiga orang anak. Ketiga anaknya semua sudah bersekolah. Anak pertama. Sudah kelas 1 SMP. Anak kedua kelas 3 SMP. Anak ke-3 kelas 3 MA. Menurut Anda, dengan penghasilan 50 ribu sehari mampukah Pak Himam mencukupi kebutuhan rumah tangganya? Akal sehat kita mengatakan tidak mampu dan tidak cukup. Tapi, apa daya logika manusia di hadapan skenario Alloh?
    Demikian juga dengan Pak Karyo. Seorang buruh pasar. Yang penghasilan seharinya paling banyak 40 ribu. Anaknya ada tiga. Semuanya biaya sekolah anak-anaknya bisa tercukupi. Tapi subhanallah, beliau ternyata tahun ini telah menyiapkan kambing kurban untuk dirinya dan keluarganya. 

    Kenyataannya, tahun ini justeru Pak Himam malah bisa berangkat haji bersma istrinya tercinta. Demikian juga pak Karyo mampu ikutserta berkurban di tahun ini. Alloh telah membuat Pak Himam dan Pak Karyo "surplus penghasilan". Surplus penghasilan tidak harus dipahami pnghasilan uangnya yang berlebihan setiap bulan. Alloh telah membuat kaya hati dan perasaannya. Beliau merasa telah menjadi manusia cukup dalam hidupnya. Tidak hanya bisa mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, namun juga bisa melaksanakan ibadah haji. Dan begitulah Alloh tidak pernah mengecewakan niat hamba-Nya untuk mentaati-Nya. Yang lemah akan dikuatkan. Yang kurang akan dicukupkan. Dengan cara-Nya sendiri. Bukan dengan cara manusia yang selalu menghitung segala sesuatu dengan panduan akal. 

    Bagaimana dengan Anda? Apa ada yang masih beralasan bahwa kita bukan orang kaya sehingga merasa belum layak menyiapkan hewan kurban. Apakah kita merasa biaya yang digunakan untuk membeli hewan kurban terlalu mahal? Cobalah merenung sejenak jika kita anggap hewan kurban mahal. Berapa harga handphone yang kita pakai? Berapa pulsa yang dibutuhkan setiap bulan? Berapa total jika diakumulasikan satu tahun? Bukankah sudah cukup untuk membeli hewan kurban? Bagaimana dengan fasilitas lain yang kita miliki? Mobil, motor, sepeda, TV dan lainnya. Bukankah harganya lebih mahal dari hewan kurban yang seharusnya kita siapkan?

    Berkurban memang membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan dengan mengesampingkan dan mengurangi sedikit dari keinginan dan kesenangan kita tentang dunia. Kita ganti dan kita arahkan untuk investasi akhirat yang lebih kekal. Investasi yang akan membawa keberuntungan dan keselamatan dunia dan akhirat. Paling tidak kita lakukan sekali dalam seumur hidup. Dan lebih baik jika kita biasakan sekali dalam satu tahun untuk berkurban. Apa yang ada pada kita tidaklah kekal, namun yang kita titipkan spada Alloh itulah yang kekal.
    ** (Ketua Majelis Rindu Rasul dan Pengasuh Yayasan Lentera Nusantara, Pengasuh Pesantren Lentera Quran)

    KURBAN ADALAH PENGORBANAN


    Ust. Budiman Mustofa, Lc., M.P.I**

    "Maka laksanakanlah shalat karena Rabbmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)." (Al-Kautsar: 2)


    Himam adalah seorang tukang becak. Penghasilannya sehari hanya 50 ribu rupiah. Ia mempunyai seorang istri dan tiga orang anak. Ketiga anaknya semua sudah bersekolah. Anak pertama. Sudah kelas 1 SMP. Anak kedua kelas 3 SMP. Anak ke-3 kelas 3 MA. Menurut Anda, dengan penghasilan 50 ribu sehari mampukah Pak Himam mencukupi kebutuhan rumah tangganya? Akal sehat kita mengatakan tidak mampu dan tidak cukup. Tapi, apa daya logika manusia di hadapan skenario Alloh?
    Demikian juga dengan Pak Karyo. Seorang buruh pasar. Yang penghasilan seharinya paling banyak 40 ribu. Anaknya ada tiga. Semuanya biaya sekolah anak-anaknya bisa tercukupi. Tapi subhanallah, beliau ternyata tahun ini telah menyiapkan kambing kurban untuk dirinya dan keluarganya. 

    Kenyataannya, tahun ini justeru Pak Himam malah bisa berangkat haji bersma istrinya tercinta. Demikian juga pak Karyo mampu ikutserta berkurban di tahun ini. Alloh telah membuat Pak Himam dan Pak Karyo "surplus penghasilan". Surplus penghasilan tidak harus dipahami pnghasilan uangnya yang berlebihan setiap bulan. Alloh telah membuat kaya hati dan perasaannya. Beliau merasa telah menjadi manusia cukup dalam hidupnya. Tidak hanya bisa mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya, namun juga bisa melaksanakan ibadah haji. Dan begitulah Alloh tidak pernah mengecewakan niat hamba-Nya untuk mentaati-Nya. Yang lemah akan dikuatkan. Yang kurang akan dicukupkan. Dengan cara-Nya sendiri. Bukan dengan cara manusia yang selalu menghitung segala sesuatu dengan panduan akal. 

    Bagaimana dengan Anda? Apa ada yang masih beralasan bahwa kita bukan orang kaya sehingga merasa belum layak menyiapkan hewan kurban. Apakah kita merasa biaya yang digunakan untuk membeli hewan kurban terlalu mahal? Cobalah merenung sejenak jika kita anggap hewan kurban mahal. Berapa harga handphone yang kita pakai? Berapa pulsa yang dibutuhkan setiap bulan? Berapa total jika diakumulasikan satu tahun? Bukankah sudah cukup untuk membeli hewan kurban? Bagaimana dengan fasilitas lain yang kita miliki? Mobil, motor, sepeda, TV dan lainnya. Bukankah harganya lebih mahal dari hewan kurban yang seharusnya kita siapkan?

    Berkurban memang membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan dengan mengesampingkan dan mengurangi sedikit dari keinginan dan kesenangan kita tentang dunia. Kita ganti dan kita arahkan untuk investasi akhirat yang lebih kekal. Investasi yang akan membawa keberuntungan dan keselamatan dunia dan akhirat. Paling tidak kita lakukan sekali dalam seumur hidup. Dan lebih baik jika kita biasakan sekali dalam satu tahun untuk berkurban. Apa yang ada pada kita tidaklah kekal, namun yang kita titipkan spada Alloh itulah yang kekal.
    ** (Ketua Majelis Rindu Rasul dan Pengasuh Yayasan Lentera Nusantara, Pengasuh Pesantren Lentera Quran)

    Kamis, 09 Agustus 2018

    image_title

    VIVA – Ribuan tenda sudah berdiri Arafah, sebagai tempat wukuf 221 ribu jemaah haji Indonesia. Tenda dibuat khusus untuk melindungi jemaah haji Indonesia dari panasnya suhu di Arafah yang bisa mencapai 50 derajat celsius.

    "Tenda tahan api. Dibuat khusus untuk jemaah haji," ucap Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama, Sri Ilham Lubis kepada VIVA, Kamis, 9 Agustus 2018.
    Sri mengajak puluhan petugas Daker Mekah melihat tenda-tenda, toilet dan karpet yang sudah tersedia di Arafah.
    "Jalurnya pas di sini. Biar jemaah Indonesia tidak kerepotan," ucapnya.
    Jemaah haji Indonesia akan berkumpul di Arafah saat wukuf pada 20 Agustus mendatang.


    Sumber: https://www.viva.co.id/haji/kabar-haji/1063288-tenda-kebal-api-siap-lindungi-jemaah-haji-indonesia

    Tenda Kebal Api Siap Lindungi Jemaah Haji Indonesia

    image_title

    VIVA – Ribuan tenda sudah berdiri Arafah, sebagai tempat wukuf 221 ribu jemaah haji Indonesia. Tenda dibuat khusus untuk melindungi jemaah haji Indonesia dari panasnya suhu di Arafah yang bisa mencapai 50 derajat celsius.

    "Tenda tahan api. Dibuat khusus untuk jemaah haji," ucap Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kementerian Agama, Sri Ilham Lubis kepada VIVA, Kamis, 9 Agustus 2018.
    Sri mengajak puluhan petugas Daker Mekah melihat tenda-tenda, toilet dan karpet yang sudah tersedia di Arafah.
    "Jalurnya pas di sini. Biar jemaah Indonesia tidak kerepotan," ucapnya.
    Jemaah haji Indonesia akan berkumpul di Arafah saat wukuf pada 20 Agustus mendatang.


    Sumber: https://www.viva.co.id/haji/kabar-haji/1063288-tenda-kebal-api-siap-lindungi-jemaah-haji-indonesia

    Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
    (Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)


    Masyarakat muslim cukup unik bangunan strukturnya. Islam mendidik individu-individunya agar setiap orang dari mereka menjadi satu unit yang lengkap dan saling melengkapi. Dia seumpama batu-bata yang teguh, disusun bersama batu bata yang lain dalam bangunan yang besar dan megah. Proses ini ada sejak pembentukan masyarakat Islam pertama di bawah petunjuk Nabi SAW. Diantara motivasi pertama Islam ialah sabda Rasul SAW yang artinya, “Allah memberi hidayah melalui kamu seorang lelaki, itu lebih baik bagi kamu daripada unta Humr an-Ni’am (jenis unta yang paling tinggi nilainya)” [Muttafaq ‘alaih)


    Semenjak itu, setiap individu dari generasi awal Islam melejit dan melaju kencang memikul misi mulia Islam dan aqidah yang murni ini. Begitu juga bara keimanan yang mendalam dan mantap di dalam jiwa-jiwa mereka tersulut untuk memberikan kontribusi terbaik bagi ummat, bangsa dan negara. Hal inilah yang mempengaruhi kata-kata, tingkah laku dan gerak mereka dalam hidup. Setiap individu di kalangan mereka seolah-olah membentuk sebuah umat. Sebagaimana ungkapan Nabi SAW atas sosok Abu ‘Ubaidah al-Jarrah diillustrasikan mewakili satu ummat, “Jika setiap ummat ada orang kepercayaan, maka orang yang paling dipercaya bagi ummat ini wahai ummatku adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhari)
    Khalid al-Walid di medan perang mewakili sebuah umat. Beliau bertanggungjawab dalam menaklukkan pengaruh bangsa Romawi di tanah Arab.  ‘Abdul Rahman bin ‘Auf dalam bidang ekonomi mewakili sebuah umat. Dialah yang berperan menemukan solusi yang tepat untuk problem monopoli Yahudi di Madinah yang sekian lama menggurita kegiatan monopoli ekonomi mereka di Madinah. ‘Umar al-Khattab dalam soal keadilan mewakili sebuah umat. Lorong-lorong Madinah dijelajahinya untuk menangani permasalahan rakyat. Gubernur dan penguasa dikumpulkan setiap tahunnya untuk ikut memikirkan dan mendiskusikan siasat mengatur negara. Jamaah haji yang berdatangan di tanah suci setiap tahunnya dimintakan beliau keterangan dan keluhan mereka tentang kepemimpinan para pemimpin mereka di masing-masing wilayah. Mus’ab bin ‘Umair berperan aktiv dalam usaha da’wah mewakili sebuah umat. Tiada satu rumah di Madinah melainkan dimasuki sinar da’wah Islamiah dan petunjuk al-Quran. Mu’az bin Jabal dalam soal halal haram mewakili sebuah umat. Zaid bin Thabit dalam soal hukum waris mewakili sebuah umat. Banyak dan banyak lagi contoh individu di kalangan mereka yang sedemikian hebat dan mampu mewakili sebuah ummat.
    Benarlah ungkapan yang disampaikan Abu Bakar as-Siddiq,"La Yuhzamu Jayshun Fihi Al-Qa’Qa Ibn Amr - Sawtu Al-Qa’Qa Fil Ma’arakati Ya’dulu Alfa Rajulan". “Takkan terkalahkan tentara yang di dalamnya ada al-Qa’qa ibn Amr, suara Qa’qa’ di medan perang menyamai seribu pahlawan”. Bukankah beliau mampu menyusun kembali tentara muslimin yang kocar kacir, menaikkan semangat juang mereka, mengacau balaukan musuh, mencari titik kelemahan mereka dan lain-lain lagi.
    Sewaktu pembukaan Mesir oleh tentara Islam di bawah komando ‘Amr bin al-’Ash, saat itu Umar al-Khattab telah mengirim 4 ribu tentara sebagai tambahan. Pasukan tambahan tentara ini ditmbah pula beberapa nama sahabat besar seperti Zubair bin al-’Awwam, Miqdad bin ‘Amr, Ubadah bin Shamit dan Muslimah bin Mukhlid, yang dikatakan setiap orang bernilai lebih dari seribu orang. Saydina Umar memberi amanat kepada Amr bin al-’Ash dan mengatakan, "Kamu harus tahu bahwa kamu mempunyai 12 ribu tentera, dan 12 ribu tentera tidak akan dikalahkan disebabkan jumlah mereka.” Dan tahukah Anda apa yang terjadi? Terbukalah kota Mesir yang agung di dalam sejarah Islam.
    Setiap seorang dari mereka hanyalah seorang individu, tetapi dengan tekad kemauan serta amal kerja, dia seolah-olah tampil sebagai sebuah umat, mengubah wajah sejarah dengan terobosan-terobosan mereka. Sebagaimana yang dikatakan, “Amal nyata seorang lelaki di kalangan seribu lelaki lebih baik daripada kata-kata seribu lelaki kepada seorang lelaki.” Mereka memompa segala usaha, sepenuh daya, seolah-olah tidak ada seorang pun yang menemani proyek besar mereka. Seolah-olah dia ingin mendirikan bangunan Islam dengan tangannya dan menyempurnakannya dengan tulang sendinya tanpa keterlibatan orang lain. Kesungguhan dan keseriusan kerja inilah yang didapati oleh ‘Umar al-Khattab di kalangan tentaranya. Beliau berkata, “Sungguh mengagumkan, panglima perang yang jika kamu melihatnya, kamu menyangkanya seorang tentara bawahan yang patuh. Mengagumkan aku juga, tentara bawahan yang jika kamu menyaksikannya, kamu menyangkanya seorang panglima yang tangguh.” Lantaran ini, mereka telah merubah sejarah dunia, memimpin dan membinanya dengan baik.
    Tiada seorang pun di kalangan mereka yang merendahkan peran dirinya atau apa yang dilakukannya. Mereka amat memahami sabda Rasulullah SAW yang artinya, “Sampaikan apa yang kalian dapat dariku walaupun sepotong ayat.” [HR. al-Bukhari].
    Amal kerja dan sumbangan mereka tidak terhenti di satu tahap, bahkan ke penghujung nafas yang terakhir dari kehidupan mereka. Lihatlah Abu Ayyub al-Ansori yang mati syahid di pinggir pagar kota Konstantinople dalam usianya 80 tahun. Pada saat kematiannya, dia tidak menghentikan sumbangannya kepada Islam, bahkan menyampaikan kepada muslimin sebuah hadis yang pernah didengarnya daripada Nabi SAW yang artiya, “Sekiranya Kiamat akan datang sedangkan di tangan salah seorang daripada kamu sebiji pohon, maka tanamkanlah ia.”[HR. Ahmad].
    Nilai dan sikap ini adalah satu fenomena biasa di dalam masyarakat muslim pada sepanjang zaman. Setiap individunya menjadi batu-bata kepada bangunan Islam yang agung. Mereka saling mengokohkan antara satu dan yang lain dalam semua profesi dan lapangan. Hasil usaha mereka yang gigih, siapapun yang melihat bangunan Islam akan berkata, “Alangkah indahnya bangunan ini! Alangkah hebatnya Islam! Dengan penuh tawadhu’ dan ikhlas, mereka tidak rela diri mereka hidup dengan kehidupan binatang yang biasanya dilalkukan oleh mereka orang-orang yang kufur kepada Allah. Firman Alloh SWT yang artinya, “Dan orang-orang yang kafir bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Maka, nerakalah tempat mereka.” [Muhammad: 12].
    Mereka tidak akan duduk bersantai ria melihat sekelilingnya tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi mereka mengangkat slogan Nabi SAW bersabda yang artinya,“Orang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan yang saling kuat menguatkan satu sama lain”[Muttafaq ‘alaih]
    Lantaran itu kita dapat melihat Ibnu al-Haitham, Ibnu al-Nafis dan Ibnu Rusyd saling lengkap melengkapi kepakaran mereka. Setiap seorang dari mereka saling menguatkan yang lain untuk meninggikan bangunan Islam. Akan tetapi pada jaman yang semakin kabur untuk mencari puncak tujuan hidup, bertambah semakin bercampur aduknya visi hidup serta bersimpang siurnya misi masyarakat, pada saat yang sama bangunan Islam semakin goyah dan rapuh, siapakah diantara pemuda kita yang siap mewakili umat mengembalikan bangunan kejayaannya yang agung?

    PEMUDA YANG MEWAKILI SEBUAH UMMAT

    Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
    (Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)


    Masyarakat muslim cukup unik bangunan strukturnya. Islam mendidik individu-individunya agar setiap orang dari mereka menjadi satu unit yang lengkap dan saling melengkapi. Dia seumpama batu-bata yang teguh, disusun bersama batu bata yang lain dalam bangunan yang besar dan megah. Proses ini ada sejak pembentukan masyarakat Islam pertama di bawah petunjuk Nabi SAW. Diantara motivasi pertama Islam ialah sabda Rasul SAW yang artinya, “Allah memberi hidayah melalui kamu seorang lelaki, itu lebih baik bagi kamu daripada unta Humr an-Ni’am (jenis unta yang paling tinggi nilainya)” [Muttafaq ‘alaih)


    Semenjak itu, setiap individu dari generasi awal Islam melejit dan melaju kencang memikul misi mulia Islam dan aqidah yang murni ini. Begitu juga bara keimanan yang mendalam dan mantap di dalam jiwa-jiwa mereka tersulut untuk memberikan kontribusi terbaik bagi ummat, bangsa dan negara. Hal inilah yang mempengaruhi kata-kata, tingkah laku dan gerak mereka dalam hidup. Setiap individu di kalangan mereka seolah-olah membentuk sebuah umat. Sebagaimana ungkapan Nabi SAW atas sosok Abu ‘Ubaidah al-Jarrah diillustrasikan mewakili satu ummat, “Jika setiap ummat ada orang kepercayaan, maka orang yang paling dipercaya bagi ummat ini wahai ummatku adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Bukhari)
    Khalid al-Walid di medan perang mewakili sebuah umat. Beliau bertanggungjawab dalam menaklukkan pengaruh bangsa Romawi di tanah Arab.  ‘Abdul Rahman bin ‘Auf dalam bidang ekonomi mewakili sebuah umat. Dialah yang berperan menemukan solusi yang tepat untuk problem monopoli Yahudi di Madinah yang sekian lama menggurita kegiatan monopoli ekonomi mereka di Madinah. ‘Umar al-Khattab dalam soal keadilan mewakili sebuah umat. Lorong-lorong Madinah dijelajahinya untuk menangani permasalahan rakyat. Gubernur dan penguasa dikumpulkan setiap tahunnya untuk ikut memikirkan dan mendiskusikan siasat mengatur negara. Jamaah haji yang berdatangan di tanah suci setiap tahunnya dimintakan beliau keterangan dan keluhan mereka tentang kepemimpinan para pemimpin mereka di masing-masing wilayah. Mus’ab bin ‘Umair berperan aktiv dalam usaha da’wah mewakili sebuah umat. Tiada satu rumah di Madinah melainkan dimasuki sinar da’wah Islamiah dan petunjuk al-Quran. Mu’az bin Jabal dalam soal halal haram mewakili sebuah umat. Zaid bin Thabit dalam soal hukum waris mewakili sebuah umat. Banyak dan banyak lagi contoh individu di kalangan mereka yang sedemikian hebat dan mampu mewakili sebuah ummat.
    Benarlah ungkapan yang disampaikan Abu Bakar as-Siddiq,"La Yuhzamu Jayshun Fihi Al-Qa’Qa Ibn Amr - Sawtu Al-Qa’Qa Fil Ma’arakati Ya’dulu Alfa Rajulan". “Takkan terkalahkan tentara yang di dalamnya ada al-Qa’qa ibn Amr, suara Qa’qa’ di medan perang menyamai seribu pahlawan”. Bukankah beliau mampu menyusun kembali tentara muslimin yang kocar kacir, menaikkan semangat juang mereka, mengacau balaukan musuh, mencari titik kelemahan mereka dan lain-lain lagi.
    Sewaktu pembukaan Mesir oleh tentara Islam di bawah komando ‘Amr bin al-’Ash, saat itu Umar al-Khattab telah mengirim 4 ribu tentara sebagai tambahan. Pasukan tambahan tentara ini ditmbah pula beberapa nama sahabat besar seperti Zubair bin al-’Awwam, Miqdad bin ‘Amr, Ubadah bin Shamit dan Muslimah bin Mukhlid, yang dikatakan setiap orang bernilai lebih dari seribu orang. Saydina Umar memberi amanat kepada Amr bin al-’Ash dan mengatakan, "Kamu harus tahu bahwa kamu mempunyai 12 ribu tentera, dan 12 ribu tentera tidak akan dikalahkan disebabkan jumlah mereka.” Dan tahukah Anda apa yang terjadi? Terbukalah kota Mesir yang agung di dalam sejarah Islam.
    Setiap seorang dari mereka hanyalah seorang individu, tetapi dengan tekad kemauan serta amal kerja, dia seolah-olah tampil sebagai sebuah umat, mengubah wajah sejarah dengan terobosan-terobosan mereka. Sebagaimana yang dikatakan, “Amal nyata seorang lelaki di kalangan seribu lelaki lebih baik daripada kata-kata seribu lelaki kepada seorang lelaki.” Mereka memompa segala usaha, sepenuh daya, seolah-olah tidak ada seorang pun yang menemani proyek besar mereka. Seolah-olah dia ingin mendirikan bangunan Islam dengan tangannya dan menyempurnakannya dengan tulang sendinya tanpa keterlibatan orang lain. Kesungguhan dan keseriusan kerja inilah yang didapati oleh ‘Umar al-Khattab di kalangan tentaranya. Beliau berkata, “Sungguh mengagumkan, panglima perang yang jika kamu melihatnya, kamu menyangkanya seorang tentara bawahan yang patuh. Mengagumkan aku juga, tentara bawahan yang jika kamu menyaksikannya, kamu menyangkanya seorang panglima yang tangguh.” Lantaran ini, mereka telah merubah sejarah dunia, memimpin dan membinanya dengan baik.
    Tiada seorang pun di kalangan mereka yang merendahkan peran dirinya atau apa yang dilakukannya. Mereka amat memahami sabda Rasulullah SAW yang artinya, “Sampaikan apa yang kalian dapat dariku walaupun sepotong ayat.” [HR. al-Bukhari].
    Amal kerja dan sumbangan mereka tidak terhenti di satu tahap, bahkan ke penghujung nafas yang terakhir dari kehidupan mereka. Lihatlah Abu Ayyub al-Ansori yang mati syahid di pinggir pagar kota Konstantinople dalam usianya 80 tahun. Pada saat kematiannya, dia tidak menghentikan sumbangannya kepada Islam, bahkan menyampaikan kepada muslimin sebuah hadis yang pernah didengarnya daripada Nabi SAW yang artiya, “Sekiranya Kiamat akan datang sedangkan di tangan salah seorang daripada kamu sebiji pohon, maka tanamkanlah ia.”[HR. Ahmad].
    Nilai dan sikap ini adalah satu fenomena biasa di dalam masyarakat muslim pada sepanjang zaman. Setiap individunya menjadi batu-bata kepada bangunan Islam yang agung. Mereka saling mengokohkan antara satu dan yang lain dalam semua profesi dan lapangan. Hasil usaha mereka yang gigih, siapapun yang melihat bangunan Islam akan berkata, “Alangkah indahnya bangunan ini! Alangkah hebatnya Islam! Dengan penuh tawadhu’ dan ikhlas, mereka tidak rela diri mereka hidup dengan kehidupan binatang yang biasanya dilalkukan oleh mereka orang-orang yang kufur kepada Allah. Firman Alloh SWT yang artinya, “Dan orang-orang yang kafir bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Maka, nerakalah tempat mereka.” [Muhammad: 12].
    Mereka tidak akan duduk bersantai ria melihat sekelilingnya tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi mereka mengangkat slogan Nabi SAW bersabda yang artinya,“Orang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan yang saling kuat menguatkan satu sama lain”[Muttafaq ‘alaih]
    Lantaran itu kita dapat melihat Ibnu al-Haitham, Ibnu al-Nafis dan Ibnu Rusyd saling lengkap melengkapi kepakaran mereka. Setiap seorang dari mereka saling menguatkan yang lain untuk meninggikan bangunan Islam. Akan tetapi pada jaman yang semakin kabur untuk mencari puncak tujuan hidup, bertambah semakin bercampur aduknya visi hidup serta bersimpang siurnya misi masyarakat, pada saat yang sama bangunan Islam semakin goyah dan rapuh, siapakah diantara pemuda kita yang siap mewakili umat mengembalikan bangunan kejayaannya yang agung?

    Majelis Rindu Rasul

    Majelis Rindu Rasul
    Majelis Rindu Rasul
    majelisrindurasul. Diberdayakan oleh Blogger.
    back to top