Latest Posts

Senin, 29 Juni 2015

Jum'at, 26 Juni 2015 - 09:44 WIB

Muslim Uighur juga harus melewati serangkaian masalah hanya demi memakai jilbab dan yang lebih simple seperti menumbuhkan jenggot
Apa Rasanya Jadi Muslim Uighur?
ALJAZEERA
Muslim Uighur harus melewati masalah hanya demi memakai jilbab dan menumbuhkan jenggot. Pemerintah China juga melarang umat Islam berpuasa

BEBERAPA saat yang lalu, kita dihebohkan dengan berita larangan Pemerintah China, tepatnya Provinsi Xinjiang, terhadap penganut Islam di daerahnya untuk tidak berpuasa Ramadhan serta untuk tetap membuka restoran selama jam puasa.
Namun sebenarnya, ini bukan satu-satunya problem di yang harus dihadapi oleh Muslim Uighur. Apa saja yang harus dilewati seorang Muslim Uighur?
Warga Kelas Dua
Pada hakekatnya, Muslim Uighur adalah orang asing di negaranya sendiri. Mereka adalah etnis keturunan Turki, serta menggunakan bahasa Turki sebagai bahasa sehari-hari.
Papan-papan di Xinjiang menggunakan dua aksara, Arab dan Mandarin. Ini karena posisi gegorafis Xinjiang yang dekat dengan Pakistan dan Kyrgystan. Menurut Pendiri dan Perdana Menteri East Turkestan Government in Exile, Anwar Yusuf Turani, penduduknya berjumlah sekitar 35 juta orang.
Angka yang tidak diakui dalam sensus penduduk resmi Pemerintah China. Penduduk setempat juga tidak terlalu suka dengan nama provinsinya, Xinjiang (yang artinya wilayah baru), dan lebih memilih nama Sharqi Turkistan, meski menggunakan nama itu sama saja dengan minta dijebloskan ke penjara secara instan.
Seorang supir taksi di Kashgar, kota paling barat di China yang berbatasan dengan Kyrgyztan dan kota bersejarah yang menjadi pintu masuk ke China sepanjang Jalan Sutra yang termahsyur itu, menyatakan bahwa ini semua ulah Mao Zedong yang membawa semua orang Han China itu ke Xinjiang, menunjukkan bahwa banyak orang menudingnya sebagai biang kerok penderitaan Muslim Uighur kini.
Pada awalnya, China tidak mencaplok Tibet dan wilayah yang kini menjadi Xinjiang. East Turkestan sempat menyatakan kemerdekaannya pada 1949, namun umurnya pendek sekali. Hanya setahun kemudian, Xinjiang masuk wilayah resmi Komunis China.
Pada tahun 2001, sebuah artikel yang ditulis oleh Ron Gluckman dkk. Menceritakan betapa susahnya hidup sebagai Uighur. Seorang lelaki Uighur yang berhasil menjadi pengusaha sukses di Dubai harus menggelandang di Beijing karena ditolak oleh hotel tempatnya akan menginap. Meski paspor-nya menunjukkan bahwa dirinya warga sah Tiongkok, nama dan wajahnya jelas menunjukkan ati dirnya sebagai Uighur.
Kebebasan Beribadah adalah Mimpi Indah
Larangan berpuasa di bulan Ramadan kali ini bukan saja terjadi sekali. Tahun lalu, larangan serupa juga diberlakukan. Namun tentu Muslim Uighur lebih takut pada Tuhannya daripada pemerintah China, dan mereka tetap berpuasa Ramadan seperti biasa. Hal tersebut bisa dilihat di Kashgar. Toko-toko tutup pada siang hari, dan malamnya para pria masih sholat Isya dan Tarawih, meski semua itu dilarang oleh Pemerintah. Ini disebabkan karena Pemerintah China secara resmi menekan kegiatan keagamaan apapun.
Masa kecil Turani, pria yang disebutkan di seksi sebelumnya, juga menggambarkan betapa beratnya cobaan yang harus dilalui Muslim Uighur hanya untuk beribadah. Desa tempat Turani dulu tinggal digunakan Pemerintah setempat untuk mengembangbiakkan ratusan babi, meski penduduknya sebagian besar Muslim. Pemerintah menghasut sepasang suami-istri tua dan amat miskin dengan rumah dan uang saku untuk membesarkan ratusan babi, dan begitulah awalnya Turani kecil harus bertetangga dengan babi-babi tersebut.
Babi bukan hanya satu-satunya problem Turani kecil. Saat masih SMP, Turani menyaksikan sendiri bagaimana para tentara membongkar Pemakaman Muslim historis di daerahnya dan mendirikan pangkalan militer di atasnya. Serta melihat masjid-masjib berubah menjadi gedung teater dan bioskop. “Ayah saya harus mengubur Al-Qur’an di halaman belakang rumah kami, dan baru digali setelah Mao Zedong meninggal,” ujar Turani.
Baru-baru ini, lima orang pria muslim Uighr ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan sebagai ‘ekstrimis agama’, hanya karena mereka semua berjenggot (AFP)
Muslim Uighur juga harus melewati serangkaian masalah hanya demi memakai jilbab dan yang lebih simple seperti menumbuhkan jenggot. Baru-baru ini, lima orang pria muslim Uighr ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan sebagai ‘ekstrimis agama’, hanya karena mereka semua berjenggot bentuk bulan sabit dan menghadiri pengajian tidak resmi. Dakwaan resmi mereka sekonyol sebutan bagi jenggot mereka: ‘aktivitas beragama ilegal’.
Ini bukan pertama kalinya seseorang ditahan gara-gara jenggot. Pada Maret lalu, seorang pria, juga di Kashgar, dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun dan istrinya yang menggunakan jilbab serta bercadar juga ditahan. Dakwaan resmi namun absurd mereka? Memprovokasi keributan.
Terpencil dan Tidak Dimengerti
Penulis belum pernah berpergian ke Kashgar, namun kakak-beradik Jeff & Peter Hutchens yang memegang paspor Amerika tapi tumbuh besar di China, membuat serangkaian film documenter berjudul ‘Lost in China’, dimana mereka berkeliling China untuk melihat bagaimana penduduk lokal hidup. Acara mereka ditayangkan di National Geographic pertama kali pada 2009, dan kalau beruntung, masih re-run di televisi berbayar yang sama. Perhentian pertama mereka adalah Kashgar, sebuah kota oase yang menjadi rute pasti jika para pedagang China ingin pergi ke barat ataupun sebaliknya, menjadikannya titik penting dalam Jalur Sutra.
Mereka sendiri mengakui bahwa Xinjiang adalah wilayah terpencil di China, meski Kashgar tumbuh menjadi salah satu kota terbesar di provinsi tersebut. Dahulu, untuk mencapai Kashgar sangatlah sulit. Tidak ada penerbangan langsung dari Beijing, sehingga banyak orang harus lewat detour, terbang ke Kyrgystan, dan ambil jalan darat lewat gunung yang berliuk-liuk menuju ke Kashgar. Saat keduanya kecil, mereka sangat ingin kemari, namun karena jauhnya (Kashgar lebih dekat ke New Delhi daripada Beijing), mereka tidak punya gambaran sama sekali mengenai tempat ini.
Telah disebutkan bahwa para Uighur tidak berbahasa China. Mereka menggunakan Bahasa Turki untuk percakapan sehari-hari, dan sedikit yang bisa berbahasa Inggris, seperti yang ditemui Hutchens bersaudara, yang akhirnya menjadi guide mereka. Pria Uighur tampak kasar tidak hanya karena bahasa mereka asing di tanah Tiongkok, namun juga karena mereka membawa pisau kemana-mana serta mahir menggunakannya.
Menurut Ali, guide Hutchens bersaudara, ini adalah bagian dari kebudayaan mereka. Pisau bagi pria Uighur adalah simbol kejantanan.*/Tika Af’idah, dari berbagai sumber

Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

Apa Rasanya Jadi Muslim Uighur?

Jum'at, 26 Juni 2015 - 09:44 WIB

Muslim Uighur juga harus melewati serangkaian masalah hanya demi memakai jilbab dan yang lebih simple seperti menumbuhkan jenggot
Apa Rasanya Jadi Muslim Uighur?
ALJAZEERA
Muslim Uighur harus melewati masalah hanya demi memakai jilbab dan menumbuhkan jenggot. Pemerintah China juga melarang umat Islam berpuasa

BEBERAPA saat yang lalu, kita dihebohkan dengan berita larangan Pemerintah China, tepatnya Provinsi Xinjiang, terhadap penganut Islam di daerahnya untuk tidak berpuasa Ramadhan serta untuk tetap membuka restoran selama jam puasa.
Namun sebenarnya, ini bukan satu-satunya problem di yang harus dihadapi oleh Muslim Uighur. Apa saja yang harus dilewati seorang Muslim Uighur?
Warga Kelas Dua
Pada hakekatnya, Muslim Uighur adalah orang asing di negaranya sendiri. Mereka adalah etnis keturunan Turki, serta menggunakan bahasa Turki sebagai bahasa sehari-hari.
Papan-papan di Xinjiang menggunakan dua aksara, Arab dan Mandarin. Ini karena posisi gegorafis Xinjiang yang dekat dengan Pakistan dan Kyrgystan. Menurut Pendiri dan Perdana Menteri East Turkestan Government in Exile, Anwar Yusuf Turani, penduduknya berjumlah sekitar 35 juta orang.
Angka yang tidak diakui dalam sensus penduduk resmi Pemerintah China. Penduduk setempat juga tidak terlalu suka dengan nama provinsinya, Xinjiang (yang artinya wilayah baru), dan lebih memilih nama Sharqi Turkistan, meski menggunakan nama itu sama saja dengan minta dijebloskan ke penjara secara instan.
Seorang supir taksi di Kashgar, kota paling barat di China yang berbatasan dengan Kyrgyztan dan kota bersejarah yang menjadi pintu masuk ke China sepanjang Jalan Sutra yang termahsyur itu, menyatakan bahwa ini semua ulah Mao Zedong yang membawa semua orang Han China itu ke Xinjiang, menunjukkan bahwa banyak orang menudingnya sebagai biang kerok penderitaan Muslim Uighur kini.
Pada awalnya, China tidak mencaplok Tibet dan wilayah yang kini menjadi Xinjiang. East Turkestan sempat menyatakan kemerdekaannya pada 1949, namun umurnya pendek sekali. Hanya setahun kemudian, Xinjiang masuk wilayah resmi Komunis China.
Pada tahun 2001, sebuah artikel yang ditulis oleh Ron Gluckman dkk. Menceritakan betapa susahnya hidup sebagai Uighur. Seorang lelaki Uighur yang berhasil menjadi pengusaha sukses di Dubai harus menggelandang di Beijing karena ditolak oleh hotel tempatnya akan menginap. Meski paspor-nya menunjukkan bahwa dirinya warga sah Tiongkok, nama dan wajahnya jelas menunjukkan ati dirnya sebagai Uighur.
Kebebasan Beribadah adalah Mimpi Indah
Larangan berpuasa di bulan Ramadan kali ini bukan saja terjadi sekali. Tahun lalu, larangan serupa juga diberlakukan. Namun tentu Muslim Uighur lebih takut pada Tuhannya daripada pemerintah China, dan mereka tetap berpuasa Ramadan seperti biasa. Hal tersebut bisa dilihat di Kashgar. Toko-toko tutup pada siang hari, dan malamnya para pria masih sholat Isya dan Tarawih, meski semua itu dilarang oleh Pemerintah. Ini disebabkan karena Pemerintah China secara resmi menekan kegiatan keagamaan apapun.
Masa kecil Turani, pria yang disebutkan di seksi sebelumnya, juga menggambarkan betapa beratnya cobaan yang harus dilalui Muslim Uighur hanya untuk beribadah. Desa tempat Turani dulu tinggal digunakan Pemerintah setempat untuk mengembangbiakkan ratusan babi, meski penduduknya sebagian besar Muslim. Pemerintah menghasut sepasang suami-istri tua dan amat miskin dengan rumah dan uang saku untuk membesarkan ratusan babi, dan begitulah awalnya Turani kecil harus bertetangga dengan babi-babi tersebut.
Babi bukan hanya satu-satunya problem Turani kecil. Saat masih SMP, Turani menyaksikan sendiri bagaimana para tentara membongkar Pemakaman Muslim historis di daerahnya dan mendirikan pangkalan militer di atasnya. Serta melihat masjid-masjib berubah menjadi gedung teater dan bioskop. “Ayah saya harus mengubur Al-Qur’an di halaman belakang rumah kami, dan baru digali setelah Mao Zedong meninggal,” ujar Turani.
Baru-baru ini, lima orang pria muslim Uighr ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan sebagai ‘ekstrimis agama’, hanya karena mereka semua berjenggot (AFP)
Muslim Uighur juga harus melewati serangkaian masalah hanya demi memakai jilbab dan yang lebih simple seperti menumbuhkan jenggot. Baru-baru ini, lima orang pria muslim Uighr ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan sebagai ‘ekstrimis agama’, hanya karena mereka semua berjenggot bentuk bulan sabit dan menghadiri pengajian tidak resmi. Dakwaan resmi mereka sekonyol sebutan bagi jenggot mereka: ‘aktivitas beragama ilegal’.
Ini bukan pertama kalinya seseorang ditahan gara-gara jenggot. Pada Maret lalu, seorang pria, juga di Kashgar, dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun dan istrinya yang menggunakan jilbab serta bercadar juga ditahan. Dakwaan resmi namun absurd mereka? Memprovokasi keributan.
Terpencil dan Tidak Dimengerti
Penulis belum pernah berpergian ke Kashgar, namun kakak-beradik Jeff & Peter Hutchens yang memegang paspor Amerika tapi tumbuh besar di China, membuat serangkaian film documenter berjudul ‘Lost in China’, dimana mereka berkeliling China untuk melihat bagaimana penduduk lokal hidup. Acara mereka ditayangkan di National Geographic pertama kali pada 2009, dan kalau beruntung, masih re-run di televisi berbayar yang sama. Perhentian pertama mereka adalah Kashgar, sebuah kota oase yang menjadi rute pasti jika para pedagang China ingin pergi ke barat ataupun sebaliknya, menjadikannya titik penting dalam Jalur Sutra.
Mereka sendiri mengakui bahwa Xinjiang adalah wilayah terpencil di China, meski Kashgar tumbuh menjadi salah satu kota terbesar di provinsi tersebut. Dahulu, untuk mencapai Kashgar sangatlah sulit. Tidak ada penerbangan langsung dari Beijing, sehingga banyak orang harus lewat detour, terbang ke Kyrgystan, dan ambil jalan darat lewat gunung yang berliuk-liuk menuju ke Kashgar. Saat keduanya kecil, mereka sangat ingin kemari, namun karena jauhnya (Kashgar lebih dekat ke New Delhi daripada Beijing), mereka tidak punya gambaran sama sekali mengenai tempat ini.
Telah disebutkan bahwa para Uighur tidak berbahasa China. Mereka menggunakan Bahasa Turki untuk percakapan sehari-hari, dan sedikit yang bisa berbahasa Inggris, seperti yang ditemui Hutchens bersaudara, yang akhirnya menjadi guide mereka. Pria Uighur tampak kasar tidak hanya karena bahasa mereka asing di tanah Tiongkok, namun juga karena mereka membawa pisau kemana-mana serta mahir menggunakannya.
Menurut Ali, guide Hutchens bersaudara, ini adalah bagian dari kebudayaan mereka. Pisau bagi pria Uighur adalah simbol kejantanan.*/Tika Af’idah, dari berbagai sumber

Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !

0 komentar:

REPUBLIKA.CO.ID, KARACHI -- Seorang ulama terkemuka Pakistan menyarankan warga Karachi untuk tidak berpuasa selama bulan suci Ramadhan. Fatwa ini muncul akibat serangan gelombang panas di Karachi yang telah menewaskan ratusan orang.

“Kami telah mengemukakan di berbagai saluran televisi bahwa mereka yang beresiko menderita gelombang panas diperbolehkan tidak berpuasa,” kata Tasir Ashrafi, seorang ulama Islam terkemuka Pakistan kepada ABC News, Rabu (24/6).

Tasir menambahkan, Islam telah menyebutkan batasan kondisi untuk berpuasa dalam Alquran. Orang sakit atau musafir yang tidak mampu melaksanakan puasa dapat mengganti di waktu lain. Orang lanjut usia yang berisiko jatuh sakit atau meninggal dunia juga boleh tidak berpuasa.

Fatwa itu dikeluarkan akibat suhu udara yang mencapai 45 derajat Celsius (111 Fahrenheit) di Karachi. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 780 jiwa. Post Graduate Medical College Hospital, sebuah rumah sakit terbesar di Karachi, merawat lebih dari 3.000 pasien.

Gelombang panas ini semakin parah karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, di mana kebanyakan Muslim berpuasa di siang hari.
“Korban tewas akibat gelombang panas telah mencapai 800 orang dalam empat hari terakhir,” kata Anwar Kazmi, petugas senior badan amal swasta, Edhi Foundation.

Bagi beberapa warga Pakistan, fatwa ini dinilai sebagai alternatif untuk bertahan dari gelombang panas. “Ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup,” kata Subah Sadiq, salah satu warga Karachi yang membuka kios buah-buahan.

Namun, banyak Muslim yang memilih untuk tetap berpuasa. “Selama saya masih hidup dan memiliki tekad kuat, saya akan tetap berpuasa,” kata Shamim ur Rehman, seorang warga lain.

Ramadhan adalah bulan suci bagi umat Islam. Setiap orang diperintahkan untuk berpuasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. 

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/06/24/nqg97r-dampak-gelombang-panas-ulama-fatwakan-warga-karachi-tak-berpuasa

Dampak Gelombang Panas, Ulama Fatwakan Warga Karachi tak Berpuasa

REPUBLIKA.CO.ID, KARACHI -- Seorang ulama terkemuka Pakistan menyarankan warga Karachi untuk tidak berpuasa selama bulan suci Ramadhan. Fatwa ini muncul akibat serangan gelombang panas di Karachi yang telah menewaskan ratusan orang.

“Kami telah mengemukakan di berbagai saluran televisi bahwa mereka yang beresiko menderita gelombang panas diperbolehkan tidak berpuasa,” kata Tasir Ashrafi, seorang ulama Islam terkemuka Pakistan kepada ABC News, Rabu (24/6).

Tasir menambahkan, Islam telah menyebutkan batasan kondisi untuk berpuasa dalam Alquran. Orang sakit atau musafir yang tidak mampu melaksanakan puasa dapat mengganti di waktu lain. Orang lanjut usia yang berisiko jatuh sakit atau meninggal dunia juga boleh tidak berpuasa.

Fatwa itu dikeluarkan akibat suhu udara yang mencapai 45 derajat Celsius (111 Fahrenheit) di Karachi. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 780 jiwa. Post Graduate Medical College Hospital, sebuah rumah sakit terbesar di Karachi, merawat lebih dari 3.000 pasien.

Gelombang panas ini semakin parah karena bertepatan dengan bulan suci Ramadhan, di mana kebanyakan Muslim berpuasa di siang hari.
“Korban tewas akibat gelombang panas telah mencapai 800 orang dalam empat hari terakhir,” kata Anwar Kazmi, petugas senior badan amal swasta, Edhi Foundation.

Bagi beberapa warga Pakistan, fatwa ini dinilai sebagai alternatif untuk bertahan dari gelombang panas. “Ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup,” kata Subah Sadiq, salah satu warga Karachi yang membuka kios buah-buahan.

Namun, banyak Muslim yang memilih untuk tetap berpuasa. “Selama saya masih hidup dan memiliki tekad kuat, saya akan tetap berpuasa,” kata Shamim ur Rehman, seorang warga lain.

Ramadhan adalah bulan suci bagi umat Islam. Setiap orang diperintahkan untuk berpuasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. 

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/15/06/24/nqg97r-dampak-gelombang-panas-ulama-fatwakan-warga-karachi-tak-berpuasa

0 komentar:

Minggu, 07 Juni 2015



Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul –Pembimbing Hannien Umroh dan Haji Solo Paragon Mall)

Dulu, Masjid Nabawi di kota Madinah begitu sederhana penampilannya. Ia berdiri hanya ditopang beberapa tiang pohon kurma. Atap untuk berteduh pun hanya terbuat dari anyaman pelepah kurma yang terikat sambungannya dengan kuat. Sementara lantainya begitu alami. Hanya hamparan pasir yang tak terhitung jumlahnya, menyatu di tempat suci, di Masjid Nabawi. Seakan ikut bertasbih dan sujud ketika Rasululloh dan para sahabat khusyuk beribadah di dalamnya. Sekilas, tak ada yang istimewa. Semua biasa saja.

Pada setiap Jumatnya, ketika baginda Rasulullah menyampaikan khutbah, beliau selalu berdiri berdampingan dengan pohon kurma. Kadang bersandar disampingnya, kadang pula sambil mengelus-elusnya. Begitu juga ketika beliau menyampaikan sunnah-sunnahnya. Ternyata, apa yang beliau lakukan terhadap sebatang pohon kurma, memberi kesan yang sangat mendalam. Keberkahan dan kesucian sosok Rasululloh saw begitu sangat dirasakan oleh pohon kurma itu. Ia merasakan sentuhan yang dahsyat yang tidak dirasakan oleh pohon-pohon lainnya, bahkan benda yang ada di muka bumi ini. Ia sungguh merasakan kebahagiaan yang tiada tara.

Di suatu hari, ada seorang sahabat yang mengusulkan agar dibuatkan sebuah mimbar untuk Rasulullah saw. Usulan itu pun sebenarnya membuat Rasulullah berpikir ulang. Namun, akhirnya apa yang diusulkan sahabat tadi disepakati oleh Rasulullah saw. Dengan cepat dan sigap para sahabat menyiapkan mimbar tersebut. Mimbar inilah yang dicatat sejarah sebagai mimbar pertama dalam Islam.

Satu hal yang sangat ditunggu dengan penuh kecemasan oleh para sahabat adalah kapan Rasulullah menggunakan mimbar tersebut untuk khutbah. Ketika beliau khutbah di atas mimbar, ada suatu kejadian yang menghentakkan perasaan dan pikiran para sahabat Rasulullah saw. Ketika beliau sedang menyampaikan khutbah, tiba-tiba terdengar isakan dan tangisan yang sangat memilukan. Seperti suara anak kecil yang merengek merindukan ibunya. Semua tercengang. Semua terbengong. Semua yang berada di dalam masjid pun mencari tahu dari mana asal tangisan itu. Dan tidak ada satupun yang mengetahui darimana sumber suara itu.

Tangisan dan rengekan itu pun belum juga reda. Dari atas mimbar Baginda Rasulullah kemudian turun dengan perlahan. Para sahabat pun terbengong hendak kemana kaki beliau melangkah kakinya. Beliau menuju sebuah pohon kurma yang sebelumnya dijadikan sandaran oleh Rasulullah ketika beliau menyampaikan khutbah. Beliau mendekatinya, menyentuhnya, mengelus-elusnya, bahkan mendekapnya. Syahdan, suara rintihan, rengekan dan tangisan itu pun menghilang. Seolah ini merupakan isyarat bahwa si pemilik tangis itu telah tenang.

Kemudian, dengan kelembutannya Rasulullah pun menjelaskan kepada para sahabat bahwa sebatang pohon kurma ini meratap karena ia telah dikepung rasa rindu yang menggebu ingin sekali dekat dengan Rasulullah dan ingin sekali kembali mendengarkan lantunan zikir dan ayat-ayat Allah di dekatnya. Kemudian Nabi memberinya pilihan, apakah hendak dikembalikan fungsinya sebagai tempat bersandar atau berpegangan, ataukah dikubur dan menjadi pohon yang buahnya dimakan oleh para nabi serta orang-orang saleh di taman surgawi? Maka ia pun memilih yang terakhir.

Lihatlah saudaraku…hanya sebatang pohon kurma. Ia sangat rindu pada Baginda Rasulullah saw. Padahal ia tidak lah lebih mulia dari kita, manusia, pengikut Rasulullah saw. Semestinya kita malu dan semestinya kita jauh lebih merindukan beliau daripada sebatang pohon kurma. Sebatang pohon kurma yang mampu merasakan betapa dahsyatnya rouuf dan Rahim-nya Rasulullah saw. Sebatang pohon kurma itu menangis karena menahan rindu akan sentuhan lembut tangan manusia pilihan, manusia paripurna yang telah dicipta Allah swt., beliau adalah uswah hasanah (teladan) kita semua. Rindu akan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah saw dibacakan. Rindu akan sosok Rasulullah yang begitu gigih tanpa lelah berdakwah mengenalkan Islam ke seluruh alam.

Allohumma Sholli Wa Sallim ‘Ala Muhammad


Rindu Sebatang Pohon Kurma



Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul –Pembimbing Hannien Umroh dan Haji Solo Paragon Mall)

Dulu, Masjid Nabawi di kota Madinah begitu sederhana penampilannya. Ia berdiri hanya ditopang beberapa tiang pohon kurma. Atap untuk berteduh pun hanya terbuat dari anyaman pelepah kurma yang terikat sambungannya dengan kuat. Sementara lantainya begitu alami. Hanya hamparan pasir yang tak terhitung jumlahnya, menyatu di tempat suci, di Masjid Nabawi. Seakan ikut bertasbih dan sujud ketika Rasululloh dan para sahabat khusyuk beribadah di dalamnya. Sekilas, tak ada yang istimewa. Semua biasa saja.

Pada setiap Jumatnya, ketika baginda Rasulullah menyampaikan khutbah, beliau selalu berdiri berdampingan dengan pohon kurma. Kadang bersandar disampingnya, kadang pula sambil mengelus-elusnya. Begitu juga ketika beliau menyampaikan sunnah-sunnahnya. Ternyata, apa yang beliau lakukan terhadap sebatang pohon kurma, memberi kesan yang sangat mendalam. Keberkahan dan kesucian sosok Rasululloh saw begitu sangat dirasakan oleh pohon kurma itu. Ia merasakan sentuhan yang dahsyat yang tidak dirasakan oleh pohon-pohon lainnya, bahkan benda yang ada di muka bumi ini. Ia sungguh merasakan kebahagiaan yang tiada tara.

Di suatu hari, ada seorang sahabat yang mengusulkan agar dibuatkan sebuah mimbar untuk Rasulullah saw. Usulan itu pun sebenarnya membuat Rasulullah berpikir ulang. Namun, akhirnya apa yang diusulkan sahabat tadi disepakati oleh Rasulullah saw. Dengan cepat dan sigap para sahabat menyiapkan mimbar tersebut. Mimbar inilah yang dicatat sejarah sebagai mimbar pertama dalam Islam.

Satu hal yang sangat ditunggu dengan penuh kecemasan oleh para sahabat adalah kapan Rasulullah menggunakan mimbar tersebut untuk khutbah. Ketika beliau khutbah di atas mimbar, ada suatu kejadian yang menghentakkan perasaan dan pikiran para sahabat Rasulullah saw. Ketika beliau sedang menyampaikan khutbah, tiba-tiba terdengar isakan dan tangisan yang sangat memilukan. Seperti suara anak kecil yang merengek merindukan ibunya. Semua tercengang. Semua terbengong. Semua yang berada di dalam masjid pun mencari tahu dari mana asal tangisan itu. Dan tidak ada satupun yang mengetahui darimana sumber suara itu.

Tangisan dan rengekan itu pun belum juga reda. Dari atas mimbar Baginda Rasulullah kemudian turun dengan perlahan. Para sahabat pun terbengong hendak kemana kaki beliau melangkah kakinya. Beliau menuju sebuah pohon kurma yang sebelumnya dijadikan sandaran oleh Rasulullah ketika beliau menyampaikan khutbah. Beliau mendekatinya, menyentuhnya, mengelus-elusnya, bahkan mendekapnya. Syahdan, suara rintihan, rengekan dan tangisan itu pun menghilang. Seolah ini merupakan isyarat bahwa si pemilik tangis itu telah tenang.

Kemudian, dengan kelembutannya Rasulullah pun menjelaskan kepada para sahabat bahwa sebatang pohon kurma ini meratap karena ia telah dikepung rasa rindu yang menggebu ingin sekali dekat dengan Rasulullah dan ingin sekali kembali mendengarkan lantunan zikir dan ayat-ayat Allah di dekatnya. Kemudian Nabi memberinya pilihan, apakah hendak dikembalikan fungsinya sebagai tempat bersandar atau berpegangan, ataukah dikubur dan menjadi pohon yang buahnya dimakan oleh para nabi serta orang-orang saleh di taman surgawi? Maka ia pun memilih yang terakhir.

Lihatlah saudaraku…hanya sebatang pohon kurma. Ia sangat rindu pada Baginda Rasulullah saw. Padahal ia tidak lah lebih mulia dari kita, manusia, pengikut Rasulullah saw. Semestinya kita malu dan semestinya kita jauh lebih merindukan beliau daripada sebatang pohon kurma. Sebatang pohon kurma yang mampu merasakan betapa dahsyatnya rouuf dan Rahim-nya Rasulullah saw. Sebatang pohon kurma itu menangis karena menahan rindu akan sentuhan lembut tangan manusia pilihan, manusia paripurna yang telah dicipta Allah swt., beliau adalah uswah hasanah (teladan) kita semua. Rindu akan ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Rasulullah saw dibacakan. Rindu akan sosok Rasulullah yang begitu gigih tanpa lelah berdakwah mengenalkan Islam ke seluruh alam.

Allohumma Sholli Wa Sallim ‘Ala Muhammad


0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)
Jawa Pos Radar Solo, Rubrik Taklim – Jumat, 1 Mei 2015


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya..” (at-Tahrim: 6)

Saudaraku yang dirahmati Allah…
Manusia dalam Al-Qur’an disebut dengan dua kata yang berbeda. Cobalah Anda telaah kembali Al-Qur’an, niscaya akan Anda buktikan apa yang saya sampaikan tadi. Terkadang Al-Qur’an menyebut manusia sebagai ‘basyarun’. Dan pada waktu yang lain menyebutnya sebagai ‘insun’. Yang keduanya diartikan ‘manusia’.

Jika kita coba memahami alasan mengapa Al-Qur’an menggunakan kata yang berbeda untuk satu makna, maka akan kita dapatkan kesimpulan yang penuh hikmah. Kata ‘basyarun’ yang disebut sebanyak kurang lebih 35 kali dalam Al-Qur’an, mengisyaratkan makna bahwa manusia adalah makhluk biologis yang makan, minum, tidur dan lainnya.

Sedangkan kata ‘insun’ yang disebut sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an, secara umum mengisyaratkan makna manusia sebagai keturunan Adam as. Juga menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk yang berlawanan dengan Jin. Yang satu membawa misi kebaikan dan yang satu membawa misi keburukan. Selain itu kata ‘insun’ juga seringkali menunjukkan tugas dan amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sedangkan malaikat, sangat jelas dari ayat di atas. Mereka adalah makhluk spesial yang mempunyai tugas spesial dari Allah. Mereka tidak akan pernah berbuat maksiat dan selalu melaksanakan segala perintah Allah swt.

Dan yang menjadikan keistimewaan manusia adalah diberinya kebebasan oleh Allah swt untuk menentukan jalan kebaikan dan keburukan. Sebab, Allah telah membekali manusia dengan penglihatan, pendengaran, hati dan akal pikiran. Allah swt berfirman:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (as-Syams: 8)

Maka, jika kita sebagai manusia mencintai makanan, minuman dan kesenangan dunia lainnya, maka wajarlah. Namun, jika kita berlebihan dalam mencintai dan memanfaatkannya, maka berarti sudah terjebak jalan keburukan dan kejahatan yang dipropagandakan oleh bangsa Jin. Dan jika kita bertaubat, maka Allah akan membukakan kita pintu taubat untuk kembali suci sebagaimana malaikat yang bersih dari dosa dan kesalahan.

Sadarilah bahwa kita ini sekelompok manusia, yang sangat mungkin berbuat salah. Kita ini bukan kumpulan jin yang salah terus dan jahat terus. Juga bukan kumpulan malaikat, yang selalu suci dan bersih dari dosa. Apa yang kita lakukan di dunia ini semua atas dasar ikhtiar kita untuk menjadi hamba Allah yang terbaik. Jangan ada kata putus asa karena pernah berbuat salah atau dosa. Dan jangan pula hidup mengisolasi diri, dengan dalih ingin menjaga kesucian. Jalanilah hidup sewajarnya sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai hamba Allah swt yang berjuang terus mempertahankan mahkota kebaikan, di tengah dahsyatnya arus kejelekan.

Maka, wajarlah jika manusia ada yang ‘jatuh’, asal setelah bangun ia kembali ke jalan yang benar. Kita dilarang memaki-maki orang yang terjatuh dalam kesalahan, seakan ia tidak akan kembali ke jalan yang benar. Sebab, makian kita menjadi celah bagi syetan untuk semakin memperburuk keadaan. Orang yang terjatuh dalam jurang kesalahan, kemudian ia menemukan jalan kembali, ia lebih mulia daripada orang yang menyombongkan diri dalam ‘kesucian’. Dan,  karena ‘perjuangan’ dahsyat inilah, kita mempunyai makna dan nilai spesial di sisi Allah swt.


Manusia sebagai Manusia, Bukan Jin atau Malaikat

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)
Jawa Pos Radar Solo, Rubrik Taklim – Jumat, 1 Mei 2015


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya..” (at-Tahrim: 6)

Saudaraku yang dirahmati Allah…
Manusia dalam Al-Qur’an disebut dengan dua kata yang berbeda. Cobalah Anda telaah kembali Al-Qur’an, niscaya akan Anda buktikan apa yang saya sampaikan tadi. Terkadang Al-Qur’an menyebut manusia sebagai ‘basyarun’. Dan pada waktu yang lain menyebutnya sebagai ‘insun’. Yang keduanya diartikan ‘manusia’.

Jika kita coba memahami alasan mengapa Al-Qur’an menggunakan kata yang berbeda untuk satu makna, maka akan kita dapatkan kesimpulan yang penuh hikmah. Kata ‘basyarun’ yang disebut sebanyak kurang lebih 35 kali dalam Al-Qur’an, mengisyaratkan makna bahwa manusia adalah makhluk biologis yang makan, minum, tidur dan lainnya.

Sedangkan kata ‘insun’ yang disebut sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an, secara umum mengisyaratkan makna manusia sebagai keturunan Adam as. Juga menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk yang berlawanan dengan Jin. Yang satu membawa misi kebaikan dan yang satu membawa misi keburukan. Selain itu kata ‘insun’ juga seringkali menunjukkan tugas dan amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sedangkan malaikat, sangat jelas dari ayat di atas. Mereka adalah makhluk spesial yang mempunyai tugas spesial dari Allah. Mereka tidak akan pernah berbuat maksiat dan selalu melaksanakan segala perintah Allah swt.

Dan yang menjadikan keistimewaan manusia adalah diberinya kebebasan oleh Allah swt untuk menentukan jalan kebaikan dan keburukan. Sebab, Allah telah membekali manusia dengan penglihatan, pendengaran, hati dan akal pikiran. Allah swt berfirman:

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (as-Syams: 8)

Maka, jika kita sebagai manusia mencintai makanan, minuman dan kesenangan dunia lainnya, maka wajarlah. Namun, jika kita berlebihan dalam mencintai dan memanfaatkannya, maka berarti sudah terjebak jalan keburukan dan kejahatan yang dipropagandakan oleh bangsa Jin. Dan jika kita bertaubat, maka Allah akan membukakan kita pintu taubat untuk kembali suci sebagaimana malaikat yang bersih dari dosa dan kesalahan.

Sadarilah bahwa kita ini sekelompok manusia, yang sangat mungkin berbuat salah. Kita ini bukan kumpulan jin yang salah terus dan jahat terus. Juga bukan kumpulan malaikat, yang selalu suci dan bersih dari dosa. Apa yang kita lakukan di dunia ini semua atas dasar ikhtiar kita untuk menjadi hamba Allah yang terbaik. Jangan ada kata putus asa karena pernah berbuat salah atau dosa. Dan jangan pula hidup mengisolasi diri, dengan dalih ingin menjaga kesucian. Jalanilah hidup sewajarnya sebagai manusia, sebagai makhluk sosial, sebagai hamba Allah swt yang berjuang terus mempertahankan mahkota kebaikan, di tengah dahsyatnya arus kejelekan.

Maka, wajarlah jika manusia ada yang ‘jatuh’, asal setelah bangun ia kembali ke jalan yang benar. Kita dilarang memaki-maki orang yang terjatuh dalam kesalahan, seakan ia tidak akan kembali ke jalan yang benar. Sebab, makian kita menjadi celah bagi syetan untuk semakin memperburuk keadaan. Orang yang terjatuh dalam jurang kesalahan, kemudian ia menemukan jalan kembali, ia lebih mulia daripada orang yang menyombongkan diri dalam ‘kesucian’. Dan,  karena ‘perjuangan’ dahsyat inilah, kita mempunyai makna dan nilai spesial di sisi Allah swt.


0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
Rubrik Taklim Jawa Pos Radar Solo, Jumat 24 April 2015

Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)

Jika pembaca ingat ungkapan ini, pasti ingat RA Kartini. Memori kita akan diputar kembali pada setting sejarah tahun 1879 M, saat RA Kartini lahir. Sebagian orang menyebutnya sebagai pejuang emansipasi wanita. Namun, jika kita telusuri dan renungi jejak sejarah, maka beliau sebenarnya lebih dikenang sebagai pejuang pendidikan. Beliau sangat gigih dalam belajar. Sebab beliu yakin bahwa dengan ilmu pengetahuan yang diserap lewat belajar maka manusia akan meraih kemajuan dan mendapatkan martabat serta harga diri. Rasa ingin tahu beliau yang begitu besar memicu beliau untuk selalu siap menimba ilmu, tanpa rasa malu. Termasuk keinginan tahunya yang begitu deras tentang agama Islam.

Ia seperti tersiksa dalam penjara ‘kebodohan’. Ia betul-betul tidak tahu apa yang harus ia gambarkan tentang Islam. Sebab, di masanya terlalu sulit untuk sekedar berdiskusi tentang Islam. Ada semecam tembok pemisah yang sangat tebal, antara Islam dengan pemeluknya. Apa gerangan sebabnya? Apakah karena Islam begitu lengkap aturan hidupnya, sehingga akan membawa perubahan yang begitu cepat bagi negri yang sedang dalam kungkungan penjajah? Atau karena memang Islam sendiri sulit untuk dimengerti?

Kegelisahan inilah yang membuat Kartini muda selalu bertanya-tanya. Simaklah bagaimana curahan kegelisahannya dalam cuplikan beberapa penggal isi suratnya. “Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Al-Quran itu terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim.

Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?, ” tulis Kartini dalam sebuah suratnya kepada Stella Zeehandelaar, sahabat Kartini dari negeri Holland Belanda.

Diceritakan bahwa suatu waktu ada acara pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Seorang kiyai yang menyampaikan ceramah adalah Kiyai Sholeh Darat. Bagi Kartini Kiyai ini paling unik dibandingkan yang lainnya. Ceramahnya sangat menarik menurutnya. Sebab, ceramahnya menyibak semua kegelapan yang selama ini menutupi akal pikiran, hati dan jiwanya. Sang Kiyai menerjemahkan semua makna yang ada dalam surat Al-Fatihah berikut kandungannya. Kartini sangat senang dan sangat terkesima dengan penjelasan Sang Kiyai. Sebab, selama ini hampir semua ulama melarang penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Konon, pertemuan ini lah yang akhirnya mendorong Kiyai Sholeh Darat menerjemahkan 13 Juz Al-Quran dan diberikan sebagai kado pernikahan RA Kartini.

Kado itulah yang merubah RA Kartini menjadi manusia baru. Dari detik ke detik ia selalu mengkaji kado yang sangat istimewa itu. Kado ini lah yang menjadi manusia baru yang tercerahkan dengan hidayah Allah dari tujuh petala langit yang turun lewan nabi Muhammad saw., kemudian sampai ke tangan para ulama. Tanpa jiwa keikhlasan para ulama, maka kegelapan hati, pikiran dan jiwa tidak akan tersibak. Manusia akan tetap dalam kebodohan. Manusia akan tetap terkungkung dalam tirani kezaliman. Manusia akan tetap hidup di bawah baying-bayang penjajah. Manusia akan tetap dalam kemunduran. Tidak akan ada kemajuan yang berarti, yang mampu mengangkat harkat dan martabat diri, umat dan bangsa. Sungguh, hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat, yang tidak akan bisa dinikmati kecuali oleh mereka yang merasakannya.    

     

Habis Gelap, Terbitlah Terang

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
Rubrik Taklim Jawa Pos Radar Solo, Jumat 24 April 2015

Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (al-Baqarah: 257)

Jika pembaca ingat ungkapan ini, pasti ingat RA Kartini. Memori kita akan diputar kembali pada setting sejarah tahun 1879 M, saat RA Kartini lahir. Sebagian orang menyebutnya sebagai pejuang emansipasi wanita. Namun, jika kita telusuri dan renungi jejak sejarah, maka beliau sebenarnya lebih dikenang sebagai pejuang pendidikan. Beliau sangat gigih dalam belajar. Sebab beliu yakin bahwa dengan ilmu pengetahuan yang diserap lewat belajar maka manusia akan meraih kemajuan dan mendapatkan martabat serta harga diri. Rasa ingin tahu beliau yang begitu besar memicu beliau untuk selalu siap menimba ilmu, tanpa rasa malu. Termasuk keinginan tahunya yang begitu deras tentang agama Islam.

Ia seperti tersiksa dalam penjara ‘kebodohan’. Ia betul-betul tidak tahu apa yang harus ia gambarkan tentang Islam. Sebab, di masanya terlalu sulit untuk sekedar berdiskusi tentang Islam. Ada semecam tembok pemisah yang sangat tebal, antara Islam dengan pemeluknya. Apa gerangan sebabnya? Apakah karena Islam begitu lengkap aturan hidupnya, sehingga akan membawa perubahan yang begitu cepat bagi negri yang sedang dalam kungkungan penjajah? Atau karena memang Islam sendiri sulit untuk dimengerti?

Kegelisahan inilah yang membuat Kartini muda selalu bertanya-tanya. Simaklah bagaimana curahan kegelisahannya dalam cuplikan beberapa penggal isi suratnya. “Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Al-Quran itu terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim.

Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?, ” tulis Kartini dalam sebuah suratnya kepada Stella Zeehandelaar, sahabat Kartini dari negeri Holland Belanda.

Diceritakan bahwa suatu waktu ada acara pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Seorang kiyai yang menyampaikan ceramah adalah Kiyai Sholeh Darat. Bagi Kartini Kiyai ini paling unik dibandingkan yang lainnya. Ceramahnya sangat menarik menurutnya. Sebab, ceramahnya menyibak semua kegelapan yang selama ini menutupi akal pikiran, hati dan jiwanya. Sang Kiyai menerjemahkan semua makna yang ada dalam surat Al-Fatihah berikut kandungannya. Kartini sangat senang dan sangat terkesima dengan penjelasan Sang Kiyai. Sebab, selama ini hampir semua ulama melarang penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Konon, pertemuan ini lah yang akhirnya mendorong Kiyai Sholeh Darat menerjemahkan 13 Juz Al-Quran dan diberikan sebagai kado pernikahan RA Kartini.

Kado itulah yang merubah RA Kartini menjadi manusia baru. Dari detik ke detik ia selalu mengkaji kado yang sangat istimewa itu. Kado ini lah yang menjadi manusia baru yang tercerahkan dengan hidayah Allah dari tujuh petala langit yang turun lewan nabi Muhammad saw., kemudian sampai ke tangan para ulama. Tanpa jiwa keikhlasan para ulama, maka kegelapan hati, pikiran dan jiwa tidak akan tersibak. Manusia akan tetap dalam kebodohan. Manusia akan tetap terkungkung dalam tirani kezaliman. Manusia akan tetap hidup di bawah baying-bayang penjajah. Manusia akan tetap dalam kemunduran. Tidak akan ada kemajuan yang berarti, yang mampu mengangkat harkat dan martabat diri, umat dan bangsa. Sungguh, hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat, yang tidak akan bisa dinikmati kecuali oleh mereka yang merasakannya.    

     

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc. MPI


Penulis mendapat forward catatan penuh hikmah dari seorang teman tentang kisah yang dituturkan oleh Syeikh Muhammad Mutawalli al Sya'rawi (1911-1998 M, Tokoh Tafsir Mesir). Penulis anggap kisah penuh hikmah ini penting untuk dibagi sesama muslim, sebagai nasehat dan bahan renungan. Ada sepenggal kisah dialog beliau Syeikh Sya'rowi dengan seorang pemuda. 

Beliau menceritakan; Aku telah berbincang dengan seorang pemuda yang mempunyai pemikiran yang agak ekstrim , aku bertanya kepada dia: "Apakah jika engkau meledakkan klub malam atau tempat maksiat dalam sebuah negara, itu halal atau haram?" Pemuda: "Sudah tentu halal dan dibolehkan membunuh mereka." Syeikh Sya'rawi: "Kalau kamu bunuh mereka dan ketika itu mereka tengah melakukan maksiat kepada Allah, apakah yang akan terjadi kepada mereka, atau bagaimanakah nasib mereka di akhirat kelak?" 

Pemuda: "Sudah tentu masuk neraka." Syeikh: "Kemana syetan ingin membawa mereka?" Pemuda: "Sudah tentu ke neraka, sebab itu adalah tujuan syetan" Syeikh: "Kalau begitu kamu dan syetan bekerjasama dalam satu tujuan yaitu ingin memasukkan manusia dalam neraka." Kemudian Sheikh pun mengingatkan pemuda itu satu hadis Rasulullah saw. Yaitu ketika ada sebuah jenazah yahudi dihadapan baginda, baginda bangun dan menangis, sahabat bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis ya Rasulullah?" Baginda berkata: "Satu jiwa telah terlepas dari ku dan menuju ke neraka!" Syeikh: "Nampak, ada perbedaan mencolok antara kamu dan Rasulullah saw. yang inginkan hidayah buat semua manusia dan menyelamatkan mereka dari neraka. 

Sedangkan kamu di bagian lain dan baginda di lembah yg lain!" Semoga Allah merahmati Syeikh Sya'rawi. Betapa banyak dari saudara kita yang terjebak dalam kubang kemaksiatan, kesesatan dan ketidakmenentuan sikapnya dalam menjalani kehidupan. Bahkan mereka seringkali tidak sadar telah teracuni virus yang membalikkan nilai kehidupan. Yang baik jadi buruk, yang buruk jadi baik. Yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar. Yang maslahat dianggap madharat, dan yang madharat dianggap maslahat. Jelas, persepsi semacam ini tidak bemar. Lantas, apakah kekeliruan persepsi ini murni dari mereka yang berbuat salah. Pastinya banyak sebab. Dan kita pun tidak bisa memastikan hanya karena satu sebab. Yang jelas mereka membutuhkan hidayah. Dan hidayah itu bisa lewat hati, pikiran dan periatiwa. 

Jika kita yakini hidayah itu ada dalam hati, maka sentuhlah dengan bahasa hati. Juga, hidayah itu bisa lewat akal, maka cobalah menyentuhl mereka para obyek dakwah bahasa akal. Bisa juga hidayah datang karena sebuah peristiwa dahsyat, yang menggugah hati, maka ambillah hikmah dari peristiwa yang dialami oleh seseorang, atau obyek dakwah langsung, galilah maknanya, dan sampaikanlah kepadanya pelajaran ('ibroh) yang bisa diambil darinya. Tidakkah kita ingat petunjuk Alloh yang mengajak kita agar mengajak kebaikan (dakwah) juga harus dengan cara-cara yang baik? 

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".( Yusuf: 108) Jelas, kita sebagai mukmin tidak rela kalau melihat saudara-saudara kita yang berjibaku melawan dahsyatnya godaan ke neraka. Tapi, bukan berarti kita pakai segala cara agar mereka mendapatkan hidayah. Ajaklah kebaikan dengan cara yang baik. Maka akan tumbuh seribu kebaikan. Wallahua'lam...

Ajaklah Kebaikan dengan Cara Yang Baik

Budiman Mustofa, Lc. MPI


Penulis mendapat forward catatan penuh hikmah dari seorang teman tentang kisah yang dituturkan oleh Syeikh Muhammad Mutawalli al Sya'rawi (1911-1998 M, Tokoh Tafsir Mesir). Penulis anggap kisah penuh hikmah ini penting untuk dibagi sesama muslim, sebagai nasehat dan bahan renungan. Ada sepenggal kisah dialog beliau Syeikh Sya'rowi dengan seorang pemuda. 

Beliau menceritakan; Aku telah berbincang dengan seorang pemuda yang mempunyai pemikiran yang agak ekstrim , aku bertanya kepada dia: "Apakah jika engkau meledakkan klub malam atau tempat maksiat dalam sebuah negara, itu halal atau haram?" Pemuda: "Sudah tentu halal dan dibolehkan membunuh mereka." Syeikh Sya'rawi: "Kalau kamu bunuh mereka dan ketika itu mereka tengah melakukan maksiat kepada Allah, apakah yang akan terjadi kepada mereka, atau bagaimanakah nasib mereka di akhirat kelak?" 

Pemuda: "Sudah tentu masuk neraka." Syeikh: "Kemana syetan ingin membawa mereka?" Pemuda: "Sudah tentu ke neraka, sebab itu adalah tujuan syetan" Syeikh: "Kalau begitu kamu dan syetan bekerjasama dalam satu tujuan yaitu ingin memasukkan manusia dalam neraka." Kemudian Sheikh pun mengingatkan pemuda itu satu hadis Rasulullah saw. Yaitu ketika ada sebuah jenazah yahudi dihadapan baginda, baginda bangun dan menangis, sahabat bertanya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis ya Rasulullah?" Baginda berkata: "Satu jiwa telah terlepas dari ku dan menuju ke neraka!" Syeikh: "Nampak, ada perbedaan mencolok antara kamu dan Rasulullah saw. yang inginkan hidayah buat semua manusia dan menyelamatkan mereka dari neraka. 

Sedangkan kamu di bagian lain dan baginda di lembah yg lain!" Semoga Allah merahmati Syeikh Sya'rawi. Betapa banyak dari saudara kita yang terjebak dalam kubang kemaksiatan, kesesatan dan ketidakmenentuan sikapnya dalam menjalani kehidupan. Bahkan mereka seringkali tidak sadar telah teracuni virus yang membalikkan nilai kehidupan. Yang baik jadi buruk, yang buruk jadi baik. Yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar. Yang maslahat dianggap madharat, dan yang madharat dianggap maslahat. Jelas, persepsi semacam ini tidak bemar. Lantas, apakah kekeliruan persepsi ini murni dari mereka yang berbuat salah. Pastinya banyak sebab. Dan kita pun tidak bisa memastikan hanya karena satu sebab. Yang jelas mereka membutuhkan hidayah. Dan hidayah itu bisa lewat hati, pikiran dan periatiwa. 

Jika kita yakini hidayah itu ada dalam hati, maka sentuhlah dengan bahasa hati. Juga, hidayah itu bisa lewat akal, maka cobalah menyentuhl mereka para obyek dakwah bahasa akal. Bisa juga hidayah datang karena sebuah peristiwa dahsyat, yang menggugah hati, maka ambillah hikmah dari peristiwa yang dialami oleh seseorang, atau obyek dakwah langsung, galilah maknanya, dan sampaikanlah kepadanya pelajaran ('ibroh) yang bisa diambil darinya. Tidakkah kita ingat petunjuk Alloh yang mengajak kita agar mengajak kebaikan (dakwah) juga harus dengan cara-cara yang baik? 

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".( Yusuf: 108) Jelas, kita sebagai mukmin tidak rela kalau melihat saudara-saudara kita yang berjibaku melawan dahsyatnya godaan ke neraka. Tapi, bukan berarti kita pakai segala cara agar mereka mendapatkan hidayah. Ajaklah kebaikan dengan cara yang baik. Maka akan tumbuh seribu kebaikan. Wallahua'lam...

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)

Berapa jamkah Anda bekerja dalam sehari? Pasti Anda akan merasakan capek dan kelelahan? Dari pagi mruput hingga sore menjelang, tiada jeda kecuali untuk bekerja. Waktu istirahat Anda akan banyak tersita. Rasa capek pun datang mendera. Pikiran, perasaan dan tenaga semua terpakai hingga tak tersisa. Sungguh melelahkan segalanya. Terkadang terbersit untuk mencari tempat kerja yang lebih nyaman, dengan penghasilan yang lumayan.
Saudaraku…sebenarnya tidak hanya Anda yang merasakan lelah. Tidakkah Anda lihat saudara kita yang lain, para petani, buruh pabrik, kuli di pasar, kuli di pelabuhan, para potter di Bandara, pekerja perbaikan jalan raya, pekerja proyek, para petugas kebersihan, para pemecah batu ? Cobalah sesekali Anda lihat bagaimana kulit tangan mereka. Kasarkah? Tataplah wajah mereka. Kusutkah? Jelas, kulit mereka kasar, wajah mereka kusut, pakaian mereka lusuh. Dan ingat, barangkali nasib Anda lebih beruntung dari sebagian mereka.

Apakah dengan keadaan dan kondisi pekerjaan mereka, merubah status mereka menjadi manusia hina dan tidak berharga? Apakah dengan penghasilan pas-pasan yang mereka dapat, menjadikan mereka tidak bisa melanjutkan napas kehidupan. Deru kendaraan pabrik, asap tebal yang membumbung dari mesin, debu yang beterbangan diterpa angin, bau yang tidak sedap, tidak menjadikan mereka mundur untuk tetap bekerja. Sekalipun sebagian mereka pasti ada yang mengeluh. Jadi, jika kita merasa lelah, capek dan jenuh, karena pekerjaan kita, maka sesungguhnya ada saudara kita yang lain yang mungkin nasibnya tidak senyaman kita.   

Pada jaman Rasulullah juga ditemukan sosok yang demikian. Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dari perang Tabuk. Jumlah sahabat yang ikut perang bersama Nabi saw juga cukup banyak. Mayoritas sahabat ikut perang ini. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Saat perjalanan pulang dari Tabuk, di sudut kota Madinah, Rasulullah mendapati seseorang tukang batu yang sangat kusut, lusuh dan tangannya melepuh, kulitnya merah kehitaman.

Rasulullah pun menyapanya dengan penuh kasih. “Mengapa tanganmu kasar sekali?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, saya adalah seorang tukang batu. Saya biasa membelah batu, kemudian menjualnya di pasar. Uang hasil kerja itu saya gunakan untuk menafkahi keluarga saya. Itulah sebabnya tangan saya kasar.”

Kemudian Rasulullah menggenggam tangannya dan berkata, “Ini adalah tangan yang tidak akan tersentuh api neraka selamanya.” Dalam sebuah hadis juga dinyatakan, yang artinya, "Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya, “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah" (HR. Bukhari)


Saudaraku, bagaimana tanggapan Anda dengan kisah ini? Masihkah Anda merasa tidak beruntung? Sesungguhnya, dalam Islam, pekerjaan apapun kita asal kita menanamkan niat yang baik untuk menjaga kehormatan, bekerja di tempat yang halal dan dengan pekerjaan yang halal, dijalankan penuh amanah, demi menuanaikan kewajiban menafkahi keluarga, maka semua itu menjadi catatan pahala yang sangat besar di sisi Allah swt. Dan sebaliknya, senyaman apapun pekerjaan dan semulia apapun pekerjaan, jika tidak dibarengi niat yang baik, cara dan proses yang halal, tidak amanah, maka justru akan menjadi pengantar baginya ke jurang neraka, pembawa kesengsaraan dunia dan akhirat. Maka, perbaikilah cara kita mencari rizki. Jangan takut lelah dan lusuh, semua akan menjadi catatan kebaikan kita di sisi-Nya. Sabda Rasulullah yang artinya, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu KELELAHAN, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Ada Tangan Yang Tak Tersentuh Api Neraka

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)

Berapa jamkah Anda bekerja dalam sehari? Pasti Anda akan merasakan capek dan kelelahan? Dari pagi mruput hingga sore menjelang, tiada jeda kecuali untuk bekerja. Waktu istirahat Anda akan banyak tersita. Rasa capek pun datang mendera. Pikiran, perasaan dan tenaga semua terpakai hingga tak tersisa. Sungguh melelahkan segalanya. Terkadang terbersit untuk mencari tempat kerja yang lebih nyaman, dengan penghasilan yang lumayan.
Saudaraku…sebenarnya tidak hanya Anda yang merasakan lelah. Tidakkah Anda lihat saudara kita yang lain, para petani, buruh pabrik, kuli di pasar, kuli di pelabuhan, para potter di Bandara, pekerja perbaikan jalan raya, pekerja proyek, para petugas kebersihan, para pemecah batu ? Cobalah sesekali Anda lihat bagaimana kulit tangan mereka. Kasarkah? Tataplah wajah mereka. Kusutkah? Jelas, kulit mereka kasar, wajah mereka kusut, pakaian mereka lusuh. Dan ingat, barangkali nasib Anda lebih beruntung dari sebagian mereka.

Apakah dengan keadaan dan kondisi pekerjaan mereka, merubah status mereka menjadi manusia hina dan tidak berharga? Apakah dengan penghasilan pas-pasan yang mereka dapat, menjadikan mereka tidak bisa melanjutkan napas kehidupan. Deru kendaraan pabrik, asap tebal yang membumbung dari mesin, debu yang beterbangan diterpa angin, bau yang tidak sedap, tidak menjadikan mereka mundur untuk tetap bekerja. Sekalipun sebagian mereka pasti ada yang mengeluh. Jadi, jika kita merasa lelah, capek dan jenuh, karena pekerjaan kita, maka sesungguhnya ada saudara kita yang lain yang mungkin nasibnya tidak senyaman kita.   

Pada jaman Rasulullah juga ditemukan sosok yang demikian. Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dari perang Tabuk. Jumlah sahabat yang ikut perang bersama Nabi saw juga cukup banyak. Mayoritas sahabat ikut perang ini. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Saat perjalanan pulang dari Tabuk, di sudut kota Madinah, Rasulullah mendapati seseorang tukang batu yang sangat kusut, lusuh dan tangannya melepuh, kulitnya merah kehitaman.

Rasulullah pun menyapanya dengan penuh kasih. “Mengapa tanganmu kasar sekali?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, saya adalah seorang tukang batu. Saya biasa membelah batu, kemudian menjualnya di pasar. Uang hasil kerja itu saya gunakan untuk menafkahi keluarga saya. Itulah sebabnya tangan saya kasar.”

Kemudian Rasulullah menggenggam tangannya dan berkata, “Ini adalah tangan yang tidak akan tersentuh api neraka selamanya.” Dalam sebuah hadis juga dinyatakan, yang artinya, "Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya, “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah" (HR. Bukhari)


Saudaraku, bagaimana tanggapan Anda dengan kisah ini? Masihkah Anda merasa tidak beruntung? Sesungguhnya, dalam Islam, pekerjaan apapun kita asal kita menanamkan niat yang baik untuk menjaga kehormatan, bekerja di tempat yang halal dan dengan pekerjaan yang halal, dijalankan penuh amanah, demi menuanaikan kewajiban menafkahi keluarga, maka semua itu menjadi catatan pahala yang sangat besar di sisi Allah swt. Dan sebaliknya, senyaman apapun pekerjaan dan semulia apapun pekerjaan, jika tidak dibarengi niat yang baik, cara dan proses yang halal, tidak amanah, maka justru akan menjadi pengantar baginya ke jurang neraka, pembawa kesengsaraan dunia dan akhirat. Maka, perbaikilah cara kita mencari rizki. Jangan takut lelah dan lusuh, semua akan menjadi catatan kebaikan kita di sisi-Nya. Sabda Rasulullah yang artinya, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu KELELAHAN, atau penyakit, atau kehawatiran, atau kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya karenanya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketu Majelis Rindu Rasul – Solo)

“Jibril terus menerus berpesan kepadaku mengenai tetangga, sehingga aku mengira bahwa ia akan memberikan hak waris kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Siapa diantara kita yang mampu hidup tanpa teman? Siapa diantara kita yang siap hidup menyendiri tanpa tetangga? Siapa diantara kita yang siap hidup terpisah dari komunitas lain? Siapa diantara kita yang tidak membutuhkan pertolongan orang lain? Setiap kita pasti membutuhkan kehadiran orang lain? Sebab, semua makhluk ciptaan Allah telah dijadikan berpasang-pasangan dan berjamaah.

Dengan hidup berjamaah, maka masing-masing kita akan saling menopang apa yang kurang dari saudaranya. Begitu juga kehidupan bertetangga. Kehadiran tetangga sangatlah berarti bagi kita. Siapakah Tetangga Itu? Pertanyaan tersebut mengundang pertanyaan penting lainnya, apakah semua orang yang tinggal di sekeliling kita bisa disebut tetangga? Apakah tetangga itu dibatasi oleh keyakinan, bagaimana jika orang yang tinggal di sekeliling kita berbeda keyakinan dengan kita? Bagaimana posisi tetangga kita yang muslim? Apakah hak tetangga semua disamakan, baik muslim atau non-muslim? Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ‘Fathul Bari’ menyatakan bahwa, "Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun dari negera lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian (tingkatan selanjutnya) adalah yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya”.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang memiliki satu hak yaitu tetangga non muslim, lalu tetangga yang memiliki dua hak yaitu tetangga muslim, dan tetangga yang memiliki tiga hak yaitu tetangga muslim serta masih kerabat. Hadis di atas sangat jelas mengisyaratkan kepada kita agar kita memberikan perhatian yang lebih kepada tetangga. Kita sangat dianjurkan agar memperhatikan hak-hak mereka, bersikap baik terhadap mereka dan mengulurkan bantuan yang mereka perlukan. Mereka ibarat pagar rumah kita. Mereka lah yang menjaga rumah kita, melindungi kehormatan dan kemuliaan kita.

Pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok. Pagar mangkok, lebih kuat daripada pagartembok. Artinya berbuat baik kepada tetangga, seperti memberikan semangkok makanan atau sayur, itu lebih kuat pengaruhnya daripada pagar tembok. Ya…..benar. Jika kita sudah mampu mengambil hati mereka, maka mereka pun akan siap mengulurkan bantuan apapun yang kita butuhkan. Bahkan disaat kita tidak berada di tempat tinggal kita. Itulah mengapa Rasulullah sangat perhatian terhadap tetangga, sebagai miniature masyarakat yang terkecil. Jika hidup bertetangga, kita jalani dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan baik. Sebab, tidak akan terbentuk sebuah masyarakat kecuali terbentuk dari sebuah keluarga.

Oleh sebab itulah mengapa Rasulullah saw berpesan kepada kita agar menjaga hubungan baik dengan tetangga. Dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw pernah bertutur kepadanya, yang artinya, “Sungguh orang yang diberi karunia sikap lemah lembut, maka ia telah diberikan anugerah dari kebaikan dunia dan akherat. Dan silaturahim, berakhlak serta bertetangga yang baik, keduanya akan bisa membuat rumah makmur dan menambah panjang umur.” (HR. Ahmad)

Pesan Rasulullah di atas jelas akan membawa dampak keberuntungan dunia dan akhirat. Kebaikan yang disebut Rasulullah saw adalah ‘kebaikan’ dalam arti global (umum). Baik menyangkut personal atau masyarakat umum. ‘Sumber Kebaikan’ yang termasuk ditekankan oleh Rasulullah adalah berbuat baik kepada tetangga. Berbuat baik kepada tetangga akan mengundang kemakmuran dunia dan kemakmuran akhirat

Cobalah kita agendakan dari hari-hari yang kita lewati untuk mengumpulkan investasi kebaikan kita kepada tetangga kita. Mulailah di setiap pagi kita untuk bertanya kebaikan apa yang akan kita berikan kepada tetangga? Lanjutkan pula di siang dan sore hari benih-benih kebaikan itu. Bahkan, jangan berhenti berbuat baik kepada tetangga sekalipun matahari sudah mulai beranjak ke tempat peraduannya. Berbuat baik kepada tetangga dijadikan sebagai parameter keimanan seseorang. Seseorang akan terukur kualitas keimanannya ketika tetangganya mampu merasakan kebaikannya.

Semakin kuat keimanan seseorang, maka akan semakin baik kepada tetangganya. Marilah sunnah yang sederhana ini kita biasakan untuk kita lakukan setiap hari. Kita tidak perlu memikirkan besar kecilnya kebaikan yang kita lakukan pada tetangga kita. Kita lakukan semata untuk menjalankan perintah Rasulullah saw dalam hidup bertetangga. Dengan menjalankan perintah beliau, kita akan mendapatkan keberuntungan yang tiada tara, baik di dunia maupun di akhirat.

Tetangga, Investasi Kita ke Surga

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketu Majelis Rindu Rasul – Solo)

“Jibril terus menerus berpesan kepadaku mengenai tetangga, sehingga aku mengira bahwa ia akan memberikan hak waris kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Siapa diantara kita yang mampu hidup tanpa teman? Siapa diantara kita yang siap hidup menyendiri tanpa tetangga? Siapa diantara kita yang siap hidup terpisah dari komunitas lain? Siapa diantara kita yang tidak membutuhkan pertolongan orang lain? Setiap kita pasti membutuhkan kehadiran orang lain? Sebab, semua makhluk ciptaan Allah telah dijadikan berpasang-pasangan dan berjamaah.

Dengan hidup berjamaah, maka masing-masing kita akan saling menopang apa yang kurang dari saudaranya. Begitu juga kehidupan bertetangga. Kehadiran tetangga sangatlah berarti bagi kita. Siapakah Tetangga Itu? Pertanyaan tersebut mengundang pertanyaan penting lainnya, apakah semua orang yang tinggal di sekeliling kita bisa disebut tetangga? Apakah tetangga itu dibatasi oleh keyakinan, bagaimana jika orang yang tinggal di sekeliling kita berbeda keyakinan dengan kita? Bagaimana posisi tetangga kita yang muslim? Apakah hak tetangga semua disamakan, baik muslim atau non-muslim? Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ‘Fathul Bari’ menyatakan bahwa, "Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun dari negera lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian (tingkatan selanjutnya) adalah yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya”.

Kemudian beliau menyebutkan bahwa tetangga itu ada tiga macam, tetangga yang memiliki satu hak yaitu tetangga non muslim, lalu tetangga yang memiliki dua hak yaitu tetangga muslim, dan tetangga yang memiliki tiga hak yaitu tetangga muslim serta masih kerabat. Hadis di atas sangat jelas mengisyaratkan kepada kita agar kita memberikan perhatian yang lebih kepada tetangga. Kita sangat dianjurkan agar memperhatikan hak-hak mereka, bersikap baik terhadap mereka dan mengulurkan bantuan yang mereka perlukan. Mereka ibarat pagar rumah kita. Mereka lah yang menjaga rumah kita, melindungi kehormatan dan kemuliaan kita.

Pager mangkok luwih kuat tinimbang pager tembok. Pagar mangkok, lebih kuat daripada pagartembok. Artinya berbuat baik kepada tetangga, seperti memberikan semangkok makanan atau sayur, itu lebih kuat pengaruhnya daripada pagar tembok. Ya…..benar. Jika kita sudah mampu mengambil hati mereka, maka mereka pun akan siap mengulurkan bantuan apapun yang kita butuhkan. Bahkan disaat kita tidak berada di tempat tinggal kita. Itulah mengapa Rasulullah sangat perhatian terhadap tetangga, sebagai miniature masyarakat yang terkecil. Jika hidup bertetangga, kita jalani dengan baik, maka kehidupan masyarakat pun akan baik. Sebab, tidak akan terbentuk sebuah masyarakat kecuali terbentuk dari sebuah keluarga.

Oleh sebab itulah mengapa Rasulullah saw berpesan kepada kita agar menjaga hubungan baik dengan tetangga. Dari ‘Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw pernah bertutur kepadanya, yang artinya, “Sungguh orang yang diberi karunia sikap lemah lembut, maka ia telah diberikan anugerah dari kebaikan dunia dan akherat. Dan silaturahim, berakhlak serta bertetangga yang baik, keduanya akan bisa membuat rumah makmur dan menambah panjang umur.” (HR. Ahmad)

Pesan Rasulullah di atas jelas akan membawa dampak keberuntungan dunia dan akhirat. Kebaikan yang disebut Rasulullah saw adalah ‘kebaikan’ dalam arti global (umum). Baik menyangkut personal atau masyarakat umum. ‘Sumber Kebaikan’ yang termasuk ditekankan oleh Rasulullah adalah berbuat baik kepada tetangga. Berbuat baik kepada tetangga akan mengundang kemakmuran dunia dan kemakmuran akhirat

Cobalah kita agendakan dari hari-hari yang kita lewati untuk mengumpulkan investasi kebaikan kita kepada tetangga kita. Mulailah di setiap pagi kita untuk bertanya kebaikan apa yang akan kita berikan kepada tetangga? Lanjutkan pula di siang dan sore hari benih-benih kebaikan itu. Bahkan, jangan berhenti berbuat baik kepada tetangga sekalipun matahari sudah mulai beranjak ke tempat peraduannya. Berbuat baik kepada tetangga dijadikan sebagai parameter keimanan seseorang. Seseorang akan terukur kualitas keimanannya ketika tetangganya mampu merasakan kebaikannya.

Semakin kuat keimanan seseorang, maka akan semakin baik kepada tetangganya. Marilah sunnah yang sederhana ini kita biasakan untuk kita lakukan setiap hari. Kita tidak perlu memikirkan besar kecilnya kebaikan yang kita lakukan pada tetangga kita. Kita lakukan semata untuk menjalankan perintah Rasulullah saw dalam hidup bertetangga. Dengan menjalankan perintah beliau, kita akan mendapatkan keberuntungan yang tiada tara, baik di dunia maupun di akhirat.

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka akan dipahamkan padanya dalam urusan agama.” (HR Bukhari)

 Pasti pembaca masih ingat, tragedi yang paling dahsyat dalam sejarah tentang runtuhnya gedung World Trade Center New York, pada 11 September 2001. Menara Kembar itu direkayasa menggunakan baja ringan, inti pusat, dan desain egg-crate. Dengan kata lain, jika salah satu kolom atau pilar runtuh, maka pilar yang lain akan runtuh pula. Dan disitulah titik rawannya, terlepas dari sisi kelebihan dan kemegahan bangunan tersebut.

Peristiwa lain yang cukup dahsyat juga terjadi pada tanggal 29 Juni 1995. Dalam 20 detik, Departemen Sampoong Store di Seoul, Korea Selatan jatuh ke tanah, menewaskan 502 orang dan melukai 937. Setelah ditelisik sebab musabab peristiwa tersebut adalah karena konstruksi jelek hingga menyebabkan bencana terbesar dalam masa damai sejarah Korea Selatan.

Begitu dahsyatnya jika sebuah bangunan dengan performa menakjubkan bisa ambruk dan luluh lantak tak bersisa. Semua karena rapuhnya sebuah pondasi. Karena pondasi sebagai penentu keberlangsungan tegaknya bangunan. Dalam hidup ini pun kita harus memiliki pondasi yang kuat agar kita tidak jatuh terpuruk di tengah perjalanan panjang. Anda bisa membayangkan jika ada seorang pengusaha besar yang malang melintang di dunia bisnis, atau pejabat tersohor, tanpa kita duga ternyata ia jatuh terpuruk dan tak mampu lagi terbangun. Bukan karena sedikitnya harta, justru karena terlalu banyaknya harta hingga ia tidak mampu lagi mengendalikannya. Semua keinginannya dan keinginan keluarga dan kerabatnya bisa terpenuhi. Hingga mencapai titik jenuh. Mereka ingin mencari puncak kebahagiaan di atas kebahagiaan dunia. Maka, bunuh diri sebagai pilihannya. Ini adalah akhir tragis sebuah perjalanan hidup.    

Semua berharap senantiasa dalam kebaikan. Tidak ada musibah atau bencana yang menimpa. Kita selalu memohon kepada Alloh agar dianugerahkan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Tidak ada satupun yang berangan untuk tidak bahagia dalam hidup. Namun, seringkali kita lupa bahwa hidup ini harus berdiri di atas sebuah pondasi yang kokoh dan kuat. Apapun bentuk usaha yang menopang kehidupan kita, profesi apapun yang kita geluti, semua harus berlandaskan pondasi yang kokoh.  

Pondasi kokoh yang harus dimiliki setiap muslim adalah paham agama (al-Fiqhu fid Diin). Agama sebagai pengendali dan panglima dalam kehidupan. Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut agama. Jika setiap usaha dan profesi apapun dilandasi dengan nilai agama, maka dijamin semua akan tetap dalam kebaikan dan keselamatan. Sebaliknya, sehebat apapun profesi dan usaha yang kita miliki jika tanpa dilandasi paham agama, maka akan sangat berpotensi pada kehancuran, dan negatifnya jauh lebih besar dari positifnya, merusaknya jauh lebih besar daripada membangunnya.

Paham agama berbeda dengan tahu agama. Banyak orang beragama rusak karena bukan paham agama, tapi sekedar tahu agama. Paham agama berarti mengetahui dengan dalam dan detail intisari pesan-pesan agama, hingga menyatu dengan jasad, akal, ruh dan jiwanya. Kaitannya dengan dunia, agama itu mengajarkan kita “what” nya. Apa saja yang pantas dan boleh kita ambil dari dunia? Juga mengajarkan “how” nya. Bagaimana proses dan cara yang benar dalam mengambil dan mengelola dunia? Termasuk juga mengajarkan “why” nya. Mengapa kita diperbolehkan mengambil dunia? Juga mengajarkan kita tentang “when” dan “where”. Kapan waktu yang tepat dan diperbolehkan kita mengambilnya? Dan dimana kita boleh mengambilnya.


Paham Agama itulah yang akan menunjukkan obyek kehidupan yang tepat buat kita. Kemudian ia akan memberikan takaran dan ukuran dunia yang tepat untuk kita ambil. Juga akan menunjukkan cara yang tepat dalam menghadapi dunia. Orang yang paham agama akan menjadi saudagar yang solih, pejabat yang solih, arsitek yang solih, guru dan dosen yang solih, dokter yang solih, penguasa yang solih, professional yang solih dan lainnya. Intinya, semua kamanfaatan akan didatangkan dan semua bentuk bahaya (kemadharatan) akan dihindarkan. Itu terjadi ketika pondasi agama kuat. Namun jika lemah, maka yang akan terjadi sebaliknya. Hancur berantakan, luluh lantak, terpecah menjadi berkeping-keping, tak ada lagi wujud, tak ada lagi bentuk, sedikit manfaat. Maka perkokohlah pondasi kepahaman agama, agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. 

Pilar Semua Kebaikan

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo)

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka akan dipahamkan padanya dalam urusan agama.” (HR Bukhari)

 Pasti pembaca masih ingat, tragedi yang paling dahsyat dalam sejarah tentang runtuhnya gedung World Trade Center New York, pada 11 September 2001. Menara Kembar itu direkayasa menggunakan baja ringan, inti pusat, dan desain egg-crate. Dengan kata lain, jika salah satu kolom atau pilar runtuh, maka pilar yang lain akan runtuh pula. Dan disitulah titik rawannya, terlepas dari sisi kelebihan dan kemegahan bangunan tersebut.

Peristiwa lain yang cukup dahsyat juga terjadi pada tanggal 29 Juni 1995. Dalam 20 detik, Departemen Sampoong Store di Seoul, Korea Selatan jatuh ke tanah, menewaskan 502 orang dan melukai 937. Setelah ditelisik sebab musabab peristiwa tersebut adalah karena konstruksi jelek hingga menyebabkan bencana terbesar dalam masa damai sejarah Korea Selatan.

Begitu dahsyatnya jika sebuah bangunan dengan performa menakjubkan bisa ambruk dan luluh lantak tak bersisa. Semua karena rapuhnya sebuah pondasi. Karena pondasi sebagai penentu keberlangsungan tegaknya bangunan. Dalam hidup ini pun kita harus memiliki pondasi yang kuat agar kita tidak jatuh terpuruk di tengah perjalanan panjang. Anda bisa membayangkan jika ada seorang pengusaha besar yang malang melintang di dunia bisnis, atau pejabat tersohor, tanpa kita duga ternyata ia jatuh terpuruk dan tak mampu lagi terbangun. Bukan karena sedikitnya harta, justru karena terlalu banyaknya harta hingga ia tidak mampu lagi mengendalikannya. Semua keinginannya dan keinginan keluarga dan kerabatnya bisa terpenuhi. Hingga mencapai titik jenuh. Mereka ingin mencari puncak kebahagiaan di atas kebahagiaan dunia. Maka, bunuh diri sebagai pilihannya. Ini adalah akhir tragis sebuah perjalanan hidup.    

Semua berharap senantiasa dalam kebaikan. Tidak ada musibah atau bencana yang menimpa. Kita selalu memohon kepada Alloh agar dianugerahkan kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Tidak ada satupun yang berangan untuk tidak bahagia dalam hidup. Namun, seringkali kita lupa bahwa hidup ini harus berdiri di atas sebuah pondasi yang kokoh dan kuat. Apapun bentuk usaha yang menopang kehidupan kita, profesi apapun yang kita geluti, semua harus berlandaskan pondasi yang kokoh.  

Pondasi kokoh yang harus dimiliki setiap muslim adalah paham agama (al-Fiqhu fid Diin). Agama sebagai pengendali dan panglima dalam kehidupan. Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut agama. Jika setiap usaha dan profesi apapun dilandasi dengan nilai agama, maka dijamin semua akan tetap dalam kebaikan dan keselamatan. Sebaliknya, sehebat apapun profesi dan usaha yang kita miliki jika tanpa dilandasi paham agama, maka akan sangat berpotensi pada kehancuran, dan negatifnya jauh lebih besar dari positifnya, merusaknya jauh lebih besar daripada membangunnya.

Paham agama berbeda dengan tahu agama. Banyak orang beragama rusak karena bukan paham agama, tapi sekedar tahu agama. Paham agama berarti mengetahui dengan dalam dan detail intisari pesan-pesan agama, hingga menyatu dengan jasad, akal, ruh dan jiwanya. Kaitannya dengan dunia, agama itu mengajarkan kita “what” nya. Apa saja yang pantas dan boleh kita ambil dari dunia? Juga mengajarkan “how” nya. Bagaimana proses dan cara yang benar dalam mengambil dan mengelola dunia? Termasuk juga mengajarkan “why” nya. Mengapa kita diperbolehkan mengambil dunia? Juga mengajarkan kita tentang “when” dan “where”. Kapan waktu yang tepat dan diperbolehkan kita mengambilnya? Dan dimana kita boleh mengambilnya.


Paham Agama itulah yang akan menunjukkan obyek kehidupan yang tepat buat kita. Kemudian ia akan memberikan takaran dan ukuran dunia yang tepat untuk kita ambil. Juga akan menunjukkan cara yang tepat dalam menghadapi dunia. Orang yang paham agama akan menjadi saudagar yang solih, pejabat yang solih, arsitek yang solih, guru dan dosen yang solih, dokter yang solih, penguasa yang solih, professional yang solih dan lainnya. Intinya, semua kamanfaatan akan didatangkan dan semua bentuk bahaya (kemadharatan) akan dihindarkan. Itu terjadi ketika pondasi agama kuat. Namun jika lemah, maka yang akan terjadi sebaliknya. Hancur berantakan, luluh lantak, terpecah menjadi berkeping-keping, tak ada lagi wujud, tak ada lagi bentuk, sedikit manfaat. Maka perkokohlah pondasi kepahaman agama, agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. 

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc.,M.P.I
(Ketua Majelis Rasul)

“… dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir: 15)


Jalan yang paling mudah dan cepat dalam mencari kekayaan adalah dengan berdagang. Rasululah saw mengingatkan kita tentang luasnya pintu rizki dari berdagang. Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Ath-Thabrani). Jual beli yang mabrur yaitu jual dilakukan sesuai tuntunan syariat. Hadis tadi mengisyaratkan bahwa dengan berdagang seseorang telah masuk ke dalam lingkaran hamba Allah yang dipuji. Dipuji oleh Allah karena usahanya mendapatkan rizki dengan jual beli. Dipuji karena ia mempunyai niat mulia dalam menjaga kehormatan diri.

Itulah jalan yang ditempuh oleh salah satu sahabat terbaik Rasulullah saw, Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasul yang piawai dalam berdagang. Hingga kekayaannya juga melimpah ruah, luar biasa. Beliau adalah seorang pedagang solih yang sangat tangguh. Yang dengan kekayaannya, beliau justru gunakan untuk kepentingan ummat Islam. Ketika beliau berinfak, maka tidak pernah mempertimbangkan berapa banyaknya. Beliau sukses dalam berniaga. Harta yang dinafkahkannya mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu beliau bersedekah lagi 200 Uqiyah emas. Lalu diserahkanya 500 ekor kuda kepada para pejuang Islam. Sesudah itu beliau infakkan 1.500 ekor unta untuk kepentingan jihad fi sabilillah.

Abdurahman mewariskan kira-kira 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3000 ekor kambing. Dia beristri empat orang. Masing-masing mendapat pembagian khusus 80.000 dinar. Dia juga meninggalkan emas dan perak. Untuk membaginya mereka harus menggunakan kapak. Harta itu ketika dibagikan kepada ahli warisnya, cukup membuat seorang ahli warisnya kaya raya. Namun, dibalik kekayaannya yang luar biasa beliau termasuk orang yang sangat tidak suka dengan jabatan kekuasaan. Dan beliau adalah sosok pedagang yang takut Allah. Yang menganggap harta hanya titipan-Nya.

Dan di balik kekayaannya yang melimpah ruah, justru ada semacam kegelisahan yang menghantui akal pikirannya. Maka, beliau mendatangi ummul mukminin, Ummu Salamah r.a untuk menghalau rasa gelisahnya. Beliau gelisah bukan karena kekurangan harta. Bukan karena konflik keluarga. Bukan juga karena kebangkrutan yang beliau alami dalam perdagangannya. Justru yang beliau katakan kepada ummul mukminin, “Wahai Bunda, kenapa saya kaya raya begini? Saya khawatir kekayaan ini akan menghancurkan saya. Bagaimana saya harus bersikap?” Maka, dijawablah oleh ummul mukminin, “Wahai anakku, keluarkanlah infak. Itulah yang akan menyelamatkan kamu. ”   

Subhaanallaah….

Ini adalah pertanyaan yang mengandung kepasrahan akan Keadilan Allah, Kamahakasihan Allah. Pernyataan dan pengakuan atas betapa Allah Maha Kaya. Pengakuan bahwa Allah Maha Berkehendak atas hamba-Nya. Hamba-Nya hanya berusaha dan Allah lah yang membukakan kran rizki dari langit. Coba, di jaman modern ini, Anda carilah kongklomerat di sekitar Anda, yang pernah melontarkan pertanyaan semisal. Adakah mereka? Apakah muncul kesadaran semacam ini, di tengah harga-harga barang yang melambung tinggi? Problematika sosial yang semakin menghimpit dan mencekik? Adakah mereka memiliki kedermawanan seperti sifat dermawannya Abdurrahman bin Auf? Adakah mereka memiliki ketakwaan seperti takwanya seorang sahabat dan pedagang, serta milyader tangguh, Abdurrahman bin Auf?  

Ini pelajaran yang sangat mahal untuk kita. Andai saja harta itu dipegang, dikendalikan dan dikelola oleh orang yang solih, maka ia tidak akan mencelakakan pemiliknya, atau orang yang ada di sekelilingnya. Semoga Allah memudahkan lahirnya orang-orang yang solih dan kaya raya dan peduli, seperti Abdurrahman bin Auf.   

“Bunda, Mengapa Aku Kaya Raya?”

Budiman Mustofa, Lc.,M.P.I
(Ketua Majelis Rasul)

“… dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir: 15)


Jalan yang paling mudah dan cepat dalam mencari kekayaan adalah dengan berdagang. Rasululah saw mengingatkan kita tentang luasnya pintu rizki dari berdagang. Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Ath-Thabrani). Jual beli yang mabrur yaitu jual dilakukan sesuai tuntunan syariat. Hadis tadi mengisyaratkan bahwa dengan berdagang seseorang telah masuk ke dalam lingkaran hamba Allah yang dipuji. Dipuji oleh Allah karena usahanya mendapatkan rizki dengan jual beli. Dipuji karena ia mempunyai niat mulia dalam menjaga kehormatan diri.

Itulah jalan yang ditempuh oleh salah satu sahabat terbaik Rasulullah saw, Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasul yang piawai dalam berdagang. Hingga kekayaannya juga melimpah ruah, luar biasa. Beliau adalah seorang pedagang solih yang sangat tangguh. Yang dengan kekayaannya, beliau justru gunakan untuk kepentingan ummat Islam. Ketika beliau berinfak, maka tidak pernah mempertimbangkan berapa banyaknya. Beliau sukses dalam berniaga. Harta yang dinafkahkannya mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu beliau bersedekah lagi 200 Uqiyah emas. Lalu diserahkanya 500 ekor kuda kepada para pejuang Islam. Sesudah itu beliau infakkan 1.500 ekor unta untuk kepentingan jihad fi sabilillah.

Abdurahman mewariskan kira-kira 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3000 ekor kambing. Dia beristri empat orang. Masing-masing mendapat pembagian khusus 80.000 dinar. Dia juga meninggalkan emas dan perak. Untuk membaginya mereka harus menggunakan kapak. Harta itu ketika dibagikan kepada ahli warisnya, cukup membuat seorang ahli warisnya kaya raya. Namun, dibalik kekayaannya yang luar biasa beliau termasuk orang yang sangat tidak suka dengan jabatan kekuasaan. Dan beliau adalah sosok pedagang yang takut Allah. Yang menganggap harta hanya titipan-Nya.

Dan di balik kekayaannya yang melimpah ruah, justru ada semacam kegelisahan yang menghantui akal pikirannya. Maka, beliau mendatangi ummul mukminin, Ummu Salamah r.a untuk menghalau rasa gelisahnya. Beliau gelisah bukan karena kekurangan harta. Bukan karena konflik keluarga. Bukan juga karena kebangkrutan yang beliau alami dalam perdagangannya. Justru yang beliau katakan kepada ummul mukminin, “Wahai Bunda, kenapa saya kaya raya begini? Saya khawatir kekayaan ini akan menghancurkan saya. Bagaimana saya harus bersikap?” Maka, dijawablah oleh ummul mukminin, “Wahai anakku, keluarkanlah infak. Itulah yang akan menyelamatkan kamu. ”   

Subhaanallaah….

Ini adalah pertanyaan yang mengandung kepasrahan akan Keadilan Allah, Kamahakasihan Allah. Pernyataan dan pengakuan atas betapa Allah Maha Kaya. Pengakuan bahwa Allah Maha Berkehendak atas hamba-Nya. Hamba-Nya hanya berusaha dan Allah lah yang membukakan kran rizki dari langit. Coba, di jaman modern ini, Anda carilah kongklomerat di sekitar Anda, yang pernah melontarkan pertanyaan semisal. Adakah mereka? Apakah muncul kesadaran semacam ini, di tengah harga-harga barang yang melambung tinggi? Problematika sosial yang semakin menghimpit dan mencekik? Adakah mereka memiliki kedermawanan seperti sifat dermawannya Abdurrahman bin Auf? Adakah mereka memiliki ketakwaan seperti takwanya seorang sahabat dan pedagang, serta milyader tangguh, Abdurrahman bin Auf?  

Ini pelajaran yang sangat mahal untuk kita. Andai saja harta itu dipegang, dikendalikan dan dikelola oleh orang yang solih, maka ia tidak akan mencelakakan pemiliknya, atau orang yang ada di sekelilingnya. Semoga Allah memudahkan lahirnya orang-orang yang solih dan kaya raya dan peduli, seperti Abdurrahman bin Auf.   

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I (Ketua Majelis Rindu Rasul Solo)

“…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.(al-Maidah: 13)

Siapakah diantara kita yang tidak pernah tersakiti? Siapakah diantara kita yang tidak pernah ditipu dan dikhianati? Siapakah diantara kita yang tidak pernah tersinggung hatinya? Siapakah diantara kita yang tidak pernah diingkari janjinya? Siapakah diantara kita yang tidak pernah diremehkan, disepelekan dan direndahkan? Siapakah diantara kita yang tidak pernah dihargai apapun? Siapakah diantara kita yang tidak pernah dikucilkan? Secara sengaja atau tidak sengaja, dengan sembunyi atau terang-terangan, kita mungkin pernah mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan itu.

Dalam jeda kehidupan kita selalu ada kesempatan disaat kita harus menahan penderitaan batin, fisik bahkan jiwa. Terkadang ada saja peristiwa hidup yang menekan batin kita bahkan menyesakkan nafas. Tidak peduli cobaan itu datang dari kawan atau mungkin orang yang paling kita cintai sekalipun. Dan menjadi sulit dan berat bagi orang yang merasakan sakitnya penderitaan itu untuk melupakannya. Mungkin ia akan merekamnya di ruang memori yang sangat kuat. Bahkan, mungkin diantara kita ada yang berjanji untuk tidak melupakannya sampai akhir hayat, kalau bisa sampai hari kiamat. Subhaanallaah…mungkin karena sangat sakit, hingga tak ingin melupakannya.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk orang yang mudah melupakan kesalahan orang lain dan memaafkannya? Ataukah Anda termasuk orang yang sangat sulit melupakan ketika disakiti hati Anda oleh orang lain? Apakah Anda mudah melupakan rasa sakit karena orang lain yang menyakiti perasaan Anda?

Adalah sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash memiliki sifat yang sangat mulia. Beliau sebagai salah seorang sahabat yang disebut-sebut sebagai ahli surga. Para sahabat lainnya pun bertanya-tanya, apa yang menyebabkan beliau disebut menjadi salah satu ahli surga. Maka jawab Sa’ad, “Tidaklah saya tidur di malam hari dalam keadaan menyimpan dendam dan kebencian kepada saudara saya. Siapapun orangnya. Bahkan orang yang menyakiti saya sepanjang hari. Mencederai saya, membicarakan aib saya. Asal tidur malam, maka saya tidak pernah membawa kebencian kepadanya. ”

Betapa luar biasanya sahabat Sa’ad ini. Mampu mengendapkan dan membuang segala perasaan yang tidak enak dalam hatinya terhadap saudara lainnya. Dan alangkah bahagianya jika kita tidak memiliki rasa dendam dan kebencian antar sesama. Siapapun mereka. Apapun perbedaannya dengan kita. Pikiran, hati dan perasaan ini akan terasa ringan. Aktivitas hidup kita pun akan kita jalani dengan ringan dan nyaman. Sebab, dendam dan kebencian akan menjadi faktor yang sangat dominan dalam menghambat semua aktivitas. Ia akan menghancurkan benih-benih kreativitas dan inovasi. Melemahkan segala potensi. Menguras tenaga dan energi.


Sebaliknya, Allah berjanji menghadiahkan surga, jika kita melapangkan dada atas segala hal yang menyakitkan hati dan perasaan kita dari perlakuan saudara kita. Tidakkah kita ingin menjadi salah satu penghuninya? 

Kelapangan Jiwa Mengantar ke Surga

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I (Ketua Majelis Rindu Rasul Solo)

“…maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.(al-Maidah: 13)

Siapakah diantara kita yang tidak pernah tersakiti? Siapakah diantara kita yang tidak pernah ditipu dan dikhianati? Siapakah diantara kita yang tidak pernah tersinggung hatinya? Siapakah diantara kita yang tidak pernah diingkari janjinya? Siapakah diantara kita yang tidak pernah diremehkan, disepelekan dan direndahkan? Siapakah diantara kita yang tidak pernah dihargai apapun? Siapakah diantara kita yang tidak pernah dikucilkan? Secara sengaja atau tidak sengaja, dengan sembunyi atau terang-terangan, kita mungkin pernah mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan itu.

Dalam jeda kehidupan kita selalu ada kesempatan disaat kita harus menahan penderitaan batin, fisik bahkan jiwa. Terkadang ada saja peristiwa hidup yang menekan batin kita bahkan menyesakkan nafas. Tidak peduli cobaan itu datang dari kawan atau mungkin orang yang paling kita cintai sekalipun. Dan menjadi sulit dan berat bagi orang yang merasakan sakitnya penderitaan itu untuk melupakannya. Mungkin ia akan merekamnya di ruang memori yang sangat kuat. Bahkan, mungkin diantara kita ada yang berjanji untuk tidak melupakannya sampai akhir hayat, kalau bisa sampai hari kiamat. Subhaanallaah…mungkin karena sangat sakit, hingga tak ingin melupakannya.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda termasuk orang yang mudah melupakan kesalahan orang lain dan memaafkannya? Ataukah Anda termasuk orang yang sangat sulit melupakan ketika disakiti hati Anda oleh orang lain? Apakah Anda mudah melupakan rasa sakit karena orang lain yang menyakiti perasaan Anda?

Adalah sahabat Nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash memiliki sifat yang sangat mulia. Beliau sebagai salah seorang sahabat yang disebut-sebut sebagai ahli surga. Para sahabat lainnya pun bertanya-tanya, apa yang menyebabkan beliau disebut menjadi salah satu ahli surga. Maka jawab Sa’ad, “Tidaklah saya tidur di malam hari dalam keadaan menyimpan dendam dan kebencian kepada saudara saya. Siapapun orangnya. Bahkan orang yang menyakiti saya sepanjang hari. Mencederai saya, membicarakan aib saya. Asal tidur malam, maka saya tidak pernah membawa kebencian kepadanya. ”

Betapa luar biasanya sahabat Sa’ad ini. Mampu mengendapkan dan membuang segala perasaan yang tidak enak dalam hatinya terhadap saudara lainnya. Dan alangkah bahagianya jika kita tidak memiliki rasa dendam dan kebencian antar sesama. Siapapun mereka. Apapun perbedaannya dengan kita. Pikiran, hati dan perasaan ini akan terasa ringan. Aktivitas hidup kita pun akan kita jalani dengan ringan dan nyaman. Sebab, dendam dan kebencian akan menjadi faktor yang sangat dominan dalam menghambat semua aktivitas. Ia akan menghancurkan benih-benih kreativitas dan inovasi. Melemahkan segala potensi. Menguras tenaga dan energi.


Sebaliknya, Allah berjanji menghadiahkan surga, jika kita melapangkan dada atas segala hal yang menyakitkan hati dan perasaan kita dari perlakuan saudara kita. Tidakkah kita ingin menjadi salah satu penghuninya? 

0 komentar:

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo – Pembimbing Umroh Hannien Umroh Solo Paragon Mall)

Pada tulisan yang lalu penulis sudah menggambarkan bagaimana sebuah kegembiraan bisa diungkapkan dengan sebuah tangisan. Pembaca tentunya sudah terbiasa menyaksikan kalau orang sedih itu menangis. Bahkan terlalu sering kita saksikan di sekeliling kita. Ya, mereka sedih. Namun, kita pun tidak tahu sedalam apa kesedihan yang menyelimuti perasaan mereka.

Tangis kesedihan, ia lebih merupakan ekspresi sebuah kesedihan yang dialami seseorang  atas musibah, atas kegagalan, kekecewaan dan semua bentuk ketidaknyamanan yang sangat mengganggu dalam rentang kehidupan seseorang. Seseorang biasanya akan menangis, ketika ia tidak lagi berdaya mengatasinya. Air mata kesedihan tidak akan bisa terbendung lagi. Ia akan tumpah bersamaan ketika rasa sedih itu menyapa.

Siapapun tidak bisa menyalahkan ketika seseorang menangis kerena sedih. Sebab, tangisan ini merupakan bahasa ekpresif kesedihan. Ia akan meledak ketika kesedihan itu betul-betul membuncah dan tidak bisa dibendung lagi.

Siapa yang tidak sedih jika anaknya yang tercinta, yang telah sekian tahun lamanya hidup bersama, secara mengejutkan terkena musibah, dan akhirnya dipanggil oleh Allah swt.? Siapa yang tidak sedih jika istri atau suami tercinta, yang begitu setia menemani dan melayani kita, ia pergi untuk selamanya? Siapa yang tidak sedih ketika cinta kesetiaan dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang menyakitkan? Siapa yang tidak sedih ketika harta yang kita miliki, hasil keringat dan kerja keras kita, yang kita kumpulkan sekian tahun lamanya dengan penuh kesungguhan dan kejujuran, demi masa depan, hilang ludes tanpa tersisa sedikit pun? Siapa yang tidak sedih ketika mendapati dirinya yang sudah sekian puluh tahun lamanya bersabar menunggu datangnya seorang pendamping hidup, namun tidak juga kunjung datang? Siapa yang tidak sedih menyaksikan semua anggota keluarganya menjadi korban dalam sebuah kecelakaan maut, tidak ada satu pun yang hidup?

Maka, menangislah. Tidak ada satu pun yang berhak melarang seseorang menangis. Hanya saja, janganlah menangis secara berlebihan sehingga melawan qadha dan takdir Allah, lupa bahwa yang menentukan segalanya adalah Allah swt.

Diceritakan dalam sebuah hadis yang artinya bahwa Rasulullah saw suatu ketika melewati sebuah kuburan. Beliau melihat seorang wanita yang sedang menangis di samping kuburan tersebut. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada wanita tersebut, “Wahai Fulanah, sudahlah bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Maka wanita tersebut menjawab dengan nada marah, “Sudah, pergi sana kamu. Kamu tidak mengalami musibah seperti penulis. ” Wanita itu memang tidak tahu jika yang menyapanya tadi adalah Rasulullah saw. Maka ada salah seorang sahabat yang memberitahu si wanita tadi. Wanita tersebut betul-betul kaget, tidak sengaja ternyata ketika larut dalam kesedihan ia telah memarahi Rasulullah dan meremehkannya. Maka ia berusaha mencari Rasulullah. Dan didapatinya beliau di rumah. Kemudian ia memohon maaf atas perilakunya, karena ia betul-betul tidak tahu bahwa yang menasehatinya adalah Rasulullah. Maka Rasulullah berpesan, yang artinya, “Sesungguhnya sabar itu pada hentakan pertama musibah.” (HR Bukhari)

Untuk mengendalikan kesedihan pada hentakan pertama ketika musibah datang sangatlah sulit. Perlu latihan istrja’ (mengembalikan urusan pada Allah dengan penuh ikhlas, selain mengucap Inna Lillah). Itu bukan berarti dilarang bersedih dan dilarang menangis. Tapi, hendaklah kita ingat bahwa Allah Yang Maha Berkehendak atas segalanya. Yang berpangkat jadi jelata. Yang jelata jadi bertahta. Yang kaya jadi miskin. Yang miskin jadi kaya. Yang siang diganti malam. Yang malam diganti siang. Hari ini akan ditukar dengan esok hari. Semua dipergulirkan oleh Allah. Hanya sabar dan solat yang menjadi bekal utama.


Membuncahnya Tangis Kesedihan -2

Budiman Mustofa, Lc., M.P.I
(Ketua Majelis Rindu Rasul – Solo – Pembimbing Umroh Hannien Umroh Solo Paragon Mall)

Pada tulisan yang lalu penulis sudah menggambarkan bagaimana sebuah kegembiraan bisa diungkapkan dengan sebuah tangisan. Pembaca tentunya sudah terbiasa menyaksikan kalau orang sedih itu menangis. Bahkan terlalu sering kita saksikan di sekeliling kita. Ya, mereka sedih. Namun, kita pun tidak tahu sedalam apa kesedihan yang menyelimuti perasaan mereka.

Tangis kesedihan, ia lebih merupakan ekspresi sebuah kesedihan yang dialami seseorang  atas musibah, atas kegagalan, kekecewaan dan semua bentuk ketidaknyamanan yang sangat mengganggu dalam rentang kehidupan seseorang. Seseorang biasanya akan menangis, ketika ia tidak lagi berdaya mengatasinya. Air mata kesedihan tidak akan bisa terbendung lagi. Ia akan tumpah bersamaan ketika rasa sedih itu menyapa.

Siapapun tidak bisa menyalahkan ketika seseorang menangis kerena sedih. Sebab, tangisan ini merupakan bahasa ekpresif kesedihan. Ia akan meledak ketika kesedihan itu betul-betul membuncah dan tidak bisa dibendung lagi.

Siapa yang tidak sedih jika anaknya yang tercinta, yang telah sekian tahun lamanya hidup bersama, secara mengejutkan terkena musibah, dan akhirnya dipanggil oleh Allah swt.? Siapa yang tidak sedih jika istri atau suami tercinta, yang begitu setia menemani dan melayani kita, ia pergi untuk selamanya? Siapa yang tidak sedih ketika cinta kesetiaan dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang menyakitkan? Siapa yang tidak sedih ketika harta yang kita miliki, hasil keringat dan kerja keras kita, yang kita kumpulkan sekian tahun lamanya dengan penuh kesungguhan dan kejujuran, demi masa depan, hilang ludes tanpa tersisa sedikit pun? Siapa yang tidak sedih ketika mendapati dirinya yang sudah sekian puluh tahun lamanya bersabar menunggu datangnya seorang pendamping hidup, namun tidak juga kunjung datang? Siapa yang tidak sedih menyaksikan semua anggota keluarganya menjadi korban dalam sebuah kecelakaan maut, tidak ada satu pun yang hidup?

Maka, menangislah. Tidak ada satu pun yang berhak melarang seseorang menangis. Hanya saja, janganlah menangis secara berlebihan sehingga melawan qadha dan takdir Allah, lupa bahwa yang menentukan segalanya adalah Allah swt.

Diceritakan dalam sebuah hadis yang artinya bahwa Rasulullah saw suatu ketika melewati sebuah kuburan. Beliau melihat seorang wanita yang sedang menangis di samping kuburan tersebut. Kemudian Rasulullah mengatakan kepada wanita tersebut, “Wahai Fulanah, sudahlah bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Maka wanita tersebut menjawab dengan nada marah, “Sudah, pergi sana kamu. Kamu tidak mengalami musibah seperti penulis. ” Wanita itu memang tidak tahu jika yang menyapanya tadi adalah Rasulullah saw. Maka ada salah seorang sahabat yang memberitahu si wanita tadi. Wanita tersebut betul-betul kaget, tidak sengaja ternyata ketika larut dalam kesedihan ia telah memarahi Rasulullah dan meremehkannya. Maka ia berusaha mencari Rasulullah. Dan didapatinya beliau di rumah. Kemudian ia memohon maaf atas perilakunya, karena ia betul-betul tidak tahu bahwa yang menasehatinya adalah Rasulullah. Maka Rasulullah berpesan, yang artinya, “Sesungguhnya sabar itu pada hentakan pertama musibah.” (HR Bukhari)

Untuk mengendalikan kesedihan pada hentakan pertama ketika musibah datang sangatlah sulit. Perlu latihan istrja’ (mengembalikan urusan pada Allah dengan penuh ikhlas, selain mengucap Inna Lillah). Itu bukan berarti dilarang bersedih dan dilarang menangis. Tapi, hendaklah kita ingat bahwa Allah Yang Maha Berkehendak atas segalanya. Yang berpangkat jadi jelata. Yang jelata jadi bertahta. Yang kaya jadi miskin. Yang miskin jadi kaya. Yang siang diganti malam. Yang malam diganti siang. Hari ini akan ditukar dengan esok hari. Semua dipergulirkan oleh Allah. Hanya sabar dan solat yang menjadi bekal utama.


0 komentar:

Majelis Rindu Rasul

Majelis Rindu Rasul
Majelis Rindu Rasul
majelisrindurasul. Diberdayakan oleh Blogger.
back to top